PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Pendahuluan
Tidak terasa krisis ekonomi yang telah
menghantam kita pada tahun 1997 sudah berlalu lebih dari satu dekade. Banyak
pelajaran yang dapat kita petik dalam penyehatan ekonomi yang telah kita
lakukan selama ini. Baik suka ataupun duka. Dampak krisis pun sampai sekarang
masih terasa, membebani keuangan Negara sehingga kemampuan Negara untuk
membiayai berbagai kegiatan sosial ataupun terkait dengan masalah lingkungan
sulit untuk mendapatkan prioritas anggaran.
Krisis telah
memaksa Indonesia mereformasi ekonominya dalam kerangka program IMF hingga
akhir 2003. Ekonomi mulai pulih pada tahun 2004, sehingga Indonesia siap
membangun ekonominya lagi, bangkit dari keterpurukkannya. Namun ternyata
kebangkitan ekonomi tidak mudah dicapai, perkembangan eksternal yang semakin
tidak ramah dan juga kebijakan domestik dalam mengelola ekonomi yang tidak
tepat telah membuat ekonomi Indonesia tidak banyak mengalami kemajuan yang
berarti hingga saat ini.
Kualitas pertumbuhan/pembangunan ekonomi yang semakin merosot ditengah-tengah stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat lagi telah membuat angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Demikian juga beban APBN masih berat. Sehingga mempersulit Indonesia untuk membangun ekonominya, apalagi membangun secara berkelanjutan. Fakta menunjukkan bahwa pada masa krisis ekonomi yang lalu, pembangunan baik dari sisi hardware ataupun software terbengkelai. Sehingga dapat dilihat kerusakan infrastruktur yang semakin parah, lingkungan juga memburuk, serta human development merosot.
Potret
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan yang dijalankan di Indonesia sejak tahun
1970-an hingga sekarang masih cenderung fokus pada pembangunan ekonomi,
bahkan pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung jangka pendek. Sehingga
masalah keberlanjutan belum menjadi prioritas utama. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika pertumbuhan ekonomi pun kualitasnya semakin memburuk.
Apalagi dengan keterbatasan APBN dan sumber daya yang kita miliki, sehingga
tidak mengherankan apabila pengambil kebijakan lebih memilih jalan pintas,
yang cepat kelihatan hasilnya, kurang memperhatikan keberlanjutannya.
Padahal pembangunan berkelanjutan sudah menjadi tuntutan bagi pengambil kebijakan pembangunan dalam bumi yang semakin rusak ini. Namun demikian lingkungan hidup tidak mendapatkan banyak perhatian sejak lama baik pada skala global, regional ataupun negara. Apalagi negara sedang berkembang yang tengah banyak menghadapi permasalahan ekonomi seperti Indonesia. Sehingga degadrasi lingkungan telah banyak menurunkan kualitas hidup masyarakat, khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itulah masyarakat dunia sejak tahun 1970-an mulai memberikan perhatian yang besar pada masalah lingkungan, dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Hal itu dapat dilihat diantaranya dari Stockholm Conference (1972), Agenda 21 di Rio Earth Summit (1992), dan Johannesburg Declaration (2002). Meski komitmen dan perhatian besar telah diberikan pada tingkat internasional, namun kondisi lingkungan hidup masih saja memburuk. Kita sekarang masih hidup dalam kondisi yang dapat merusak lingkungan hidup semakin parah, sehingga akan membahayakan kehidupan umat manusia pada masa mendatang. Oleh karena itulah usaha untuk menjaga lingkungan hidup agar pembangunan dapat berkelanjutan sehingga kepentingan kehidupan generasi yang akan datang terproteksi, menjadi semakin penting untuk diperjuangkan. Dengan demikian perlu adanya jaminan agar supaya dalam memenuhi kebutuhan sekarang kita tidak akan mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam perkembangannya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan hidup, namun juga pembangunan ekonomi dan sosial yang dikenal dengan the living triangle. Tidaklah mungkin lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat buruk. Oleh karena itulah dalam rangka melestarikan lingkungan hidup kita secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan juga perlu dilakukan. Tidaklah mungkin masyarakat yang untuk hidup saja sulit akan dapat menjaga lingkungannya dengan baik. Perhatian dan komitmen yang besar masyarakat internasional pada pembangunan berkelanjutan khususnya dari negera maju dalam beberapa conference adalah cukup besar. Namun demikian dalam implementasinya ternyata jauh dari harapan. Dapat dilihat bahwa Official Development Assistance (ODA) yang diberikan negara maju rata-rata hanya sebesar 0,27% dari PDB mereka pada tahun 1995, turun dari 0,34% pada tahun 1992. Pada tahun 2000 didapati hanya 4 negara yang menandatangi komitmen ODA memenuhi komitmennya. Hal ini mencerminkan bahwa pembangunan berkelanjutan pada tingkat globalpun seringkali hanya menjadi retorika politik belaka. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa upaya pembangunan berkelanjutan tidak mudah diimplementasikan (Cooper & Vargas, 2004). Rendahnya komitmen negara maju dalam memenuhi komitmennya dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan rendahnya kepentingan negara maju untuk mendukung pembangunan berkelanjuitan global. Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan kalahnya prioritas menjaga lingkungan dengan masalah aktual seperti meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi taupun menjaga agar dunia usaha dari negaranya yang banyak diwakili oleh TNCs terus berkembang dalam pasar global. Tingginya nilai politis dari kepentingan ekonomi jangka pendek tersebut memang akan mudah membuat politisi baik dari negara maju ataupun sedang berkembang akan mengedepankan kepentingan jangka pendek. Selain itu jangan lupa bahwa bargaining power dari bisnis raksasa di negara maju tentu saja juga besar sekali, sehingga akan mampu mendistorsi keputusan yang diambil oleh pejabat publik, dapat mengalahkan kepentingan publik dalam jangka panjang. Hal yang sama juga terjadi di negara kita, dimana seringkali pengambilan keputusan dibengkokan oleh kepentingan pemodal yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Sehingga tidaklah mengherankan jika World Trade Organization (WTO) yang menawarkan liberalisasi serta akses pasar yang lebih luas, serta kadang menawarkan solusi yang lebih menarik/menguntungkan terhadap berbagai isu yang sama (terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan) dapat menjadi salah satu outlet bagi mereka. Oleh karena itulah dapat dipahami jika WTO berkembang pesat akhir-¬akhir ini. Sementara pembangunan berkelanjutan semakin tenggelam ditengah-tengah berbagai kemelut ekonomi yang dihadapi oleh banyak negara, khususnya negara Selatan. Prinsip-prinsip ekonomi yang menekankan pada efisiensi ekonomi dengan maximizing benefit dan minimizing cost dari sudut pandang teori ekonomi memang sangat rasional. Sehingga dengan ekonomi yang semakin liberal ekonomi pada akhirnya banyak dikuasai oleh perusahaan transnational (TNCs) yang banyak beroperasi di negara sedang berkembang, baik untuk mendapatkan input khususnya sumber daya alam, maupun tenaga kerja murah, ataupun untuk memperluas pasar produk mereka. Sedangkan bagi negara sedang berkembang, globalisasi yang menjadikan masyarakatnya menjadi konsumen dari TNCs, juga menggunakan globalisasi untuk memperluas pasarnya, meskipun biasanya untuk produk primer ataupun sekunder dengan tingkat teknologi yang rendah. Sehingga banyak negara sedang berkembang yang terjerat utang ataupun masih harus berkubang dengan kemiskinan yang kronis. Bahkan Stiglitz dalam bukunya Globalization and Its Discontent (2002) mengatakan bahwa manfaat dari globalisasi lebih rendah dari klaim yang selama ini diyakininya, sebab harga yang harus dibayar juga mahal, karena lingkungan yang semakin rusak, demikian juga proses politik korup berkembang, dan cepatnya perubahan yang terjadi membuat masyarakat tidak dapat menyesuaikanbudayanya. Liberalisasi pasar yang semakin melibas perekonomian di banyak Negara juga telah menghambat pembangunan berkelanjutan. Martin Khor direktur dari Third World Network melihat bahwa lieberalisasi dan globalisasi yang menekankan pada "daya saing" telah menghambat pembangunan berkelanjutan sehingga merusak lingkungan. Liberalisasi dan globalisasi telah memperburuk lingkungan global karena tidak adanya aturan dan pengawasan pada TNCs di pasar global sehingga meningkatnya volume bisnis mereka meningkatkan kerusakan lingkungan. Padahal aktivitas TNCs telah banyak merusak lingkungan hidup (penghasil lebih dari 50% greenhouse gases). Demikian juga kebijakan yang liberal dan integrasi pasar telah mendorong peningkatan eksploitasi dari sumber daya alam seperti hutan dan kelautan sehingga mendorong kerusakkan lingkungan yang serius. Selain itu globalisasi mendorong ekplorasi sumber daya alam yang melampau batas keberlangsungannya seperti air, tanah, dan mineral, telah banyak merusak lingkungan hidup. Bagi negara seperti Indonesia, yang baru saja keluar dari krisis ekonomi, serta masih menghadapi banyak masalah ekonomi dan sosial yang berat, sehingga menghadapi proses globalisasi baik dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 2010, ASEAN Economic Community tahun 2015, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan WTO adalah tidak mudah. Oleh karena itu membangun kembali Indonesia tidaklah mudah pada saat ini. Apalagi membangun secara berkelanjutan ditengah-tengah pasar yang semakin liberal.
Tantangan
Indonesia
Potret pembangunan
berkelanjutan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan potret internasional,
bahkan cenderung lebih buruk. Meskipun komitmen pemerintah nampaknya cukup
besar sejak jaman Orde Baru, diantaranya dapat dilihat dengan keberadaan
Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang tentunya diikuti dengan kebijakan dan
anggaran untuk melestarikan lingkungan hidup. Namun komitmen dan keberadaan
kementrian yang menjaga lingkungan hidup pun ternyata tidak mencukupi. Dapat
dilihat dari kerusakkan lingkungan hidup Indonesia yang masih saja berlanjut,
sehingga bencana alam semakin banyak terjadi di tanah air kita yang tercinta
ini. Laut, hutan dan lingkungan hidup lainnya pada umumnya semakin rusak.
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa menjaga lingkungan tidaklah dapat berdiri sendiri. Pembangunan berkelanjutan dengan melestarikan lingkungan hanya akan berhasil jika dipadukan secara terintegral dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Oleh karena itulah perlu kebijakan yang terintegral dalam pembangunan lingkungan dengan pembangunan ekonomi dan sosial agar dapat memberikan hasil yang optimal. Meski demikian desain program yang baikpun belum menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan berkelanjutan seringkali terganjal oleh kurangnya implementasi yang baik. Secara prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya harus terefleksi dalam cara berfikir, hidup, memerintah dan berbisnis dari seluruh masyarakat. Oleh karena itulah dalam kerangka mensukseskan pembangunan berkelanjutan banyak sekali aspek yang perlu dibenahi. Kegagalan implementasi kebijakan, program ataupun proyek-proyek pada pembangunan berkelanjutan seringkali karena tidak mempertimbangkan berbagai aspek yang perlu dilihat, baik dari sisi teknis, legal, fiskal, administrasi, politik, etik dan budaya (Cooper and Vargas, 2004). Pertanyaannya adalah apakah secara teknis suatu kebijakan fisibel erat kaitannya dengan apakah kita tahu apa yang perlu dilakukan, bagaimana caranya? Seringkali tantangannya disini adalah lebih pada masalah keberlanjutannya suatu kebijakan, dan apa yang dilakukan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari sisi legal tentu saja erat kaitannya dengan apakah secara legal kebijakan ataupun program yang dilakukan tidak melanggar rambu¬rambu yang ada. Dalam hal ini tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kita mendesain infrastruktur legal yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan. Ataupun kasus yang hangat akhir-akhir ini terkait dengan masalah illegal logging dan penegakkan hukumnya yang dinilai tidak memihak pada lingkungan. Jelas ini merupakan salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia. Sedangkan dari sisi fiskal, tantangan yang dihadapi diantaranya adalah bagaimana mendesain kebijakan yang ongkosnya minimal ditengah beban fiskal yang berat untuk membayar hutang. Oleh karena itu dana untuk melaksanakan program pembangunan terbatas, sehingga perlu terobosan agar supaya secara fiskal baik dari sisi penerimaan dan pengeluaran dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Reformasi fiskal yang tengah kita gulirkan mestinya juga didasari oleh kepentingan melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Adapun aspek administrasi erat kaitannya dengan kemampuan organisasi dan kemampuan manajerial untuk melaksanakan secara konsisten kebijakan yang ada. Dalam hal ini koordinasi baik secara horizontal ataupun vertikal, baik di pusat maupun daerah, ataupun antar pusat dan daerah, ataupun antar daerah, sangat krusial untuk dilakukan. Seringkali ego antar instansi dan juga antar pemerintah pusat dan daerah membuat koordinasi untuk melaksanakan kebijakan secara konsisten sulit untuk dilakukan. Aspek politik juga memegang peranan penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Selain political will untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan penting. Namun stabilitas politik juga memegang peranan penting dalam hal ini. Untuk itulah perlu pembangunan institusi dan juga perbaikkan pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan aspek etika dan budaya juga memegang peranan penting dalam implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Itu semua menunjukkan bahwa mengimplementasikan kebijakan pembangunan berkelanjutan tidaklah mudah. Meski demikian tidak berarti tidak dapat dilakukan. Pembangunan berkelanjutan tidaklah mudah dilakukan oleh negara yang masih menghadapi banyak masalah ekonomi seperti Indonesia. Beban hutang yang besar, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, serta stabilitas ekonomi yang rapuh serta pertumbuhan ekonomi yang berkualitas rendah membuat pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi berkelanjutan. Sementara itu kondisi keungan negara yang berat, hutang luar negeri yang besar, serta fundamental ekonomi yang masih rapuh, disertai dengan kualitas pertumbuhan ekonomi yang memburuk. Membuat Indonesia akan mudah terjebak memilih kebijakan ekonomi yang cenderung menguntungkan dalam jangka pendek. Khususnya dengan mengeksploitasi sumber daya alamnya, ataupun memberikan kelonggaran yang lebih besar pada kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak lingkungan baik dari industrialis domestik ataupun asing. Pembangunan berkelanjutan menjadi semakin mahal untuk diimplementasikan.
Kesimpulan
Masa depan
kehidupan bangsa dan negara akan banyak sekali ditentukan oleh berbagai
pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada saat ini. Apalagi
pemerintah juga cenderung semakin liberal dalam melaksanakan kebijakan
ekonominya. Sementara itu tuntutan untuk membangun secara berkelanjutan juga
semakin meningkat selaras dengan semakin besarnya ongkos yang harus kita
pikul dengan semakin rusaknya lingkungan hidup, yang dapat dilihat dengan
semakin banyaknya bencana alam yang merenggut banyak nyawa dan material
akhir-akhir ini. Oleh karena itu Indonesia tidak lagi dapat mengabaikan
pelestarian lingkungan hidupnya.
Trade off antara mengedepankan kepentingan jangka pendek (kepentingan generasi sekarang) dengan kepentingan jangka panjang (kepentingan anak cucu kita) harus segera diambil keputusannya. Sudah saatnya kita hidup bukan hanya untuk kepentingan jangka pendek, namun harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang yang akan hidup di Indonesia. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi agar supaya keputusan apapun yang diambil akan menggunakan perspektif jangka panjang, mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pembuatan kebijakan ekonomi harus menjaga lingkungan hidup serta mempertimbangan aspek sosial masyarakat. Untuk itulah Indonesia sudah saatnya menyusun program pembangunan berkelanjutan secara terintegral agar supaya lebih efektif dalam menjaga lingkungan hidup kita. Namun demikian kebijakan dengan program yang baguspun tidaklah dapat menjamin keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa tantangan utama dalam pembangunan berkelanjutan adalah implementasi dari kebijakan yang diambil. Oleh karena itulah perlu disiapkan suatu environment agar tujuan pembangunan berkelanjutan berhasil. Dalam hal ini kebijakan ataupun program tersebut mesti mempertimbangkan baik dari sisi teknis, legal, fiskal, administrasi, politik, etik dan budaya agar mudah diimplementasikan.
Referensi
Cooper, Phillip J. Dan Vargas,
Claudia M., Implementing Sustainable Development from Global Policy to Local
Action, Rowman & Littlefield Publisher Inc., UK, 2004
Khor, Martin, "Globalization and the Crisis of Sustainable Development", Third World Network. Stiglitz, Joseph, Globalization and its Discontents, The Penguin Books, 2002) World Economic Forum, World Investment Report 2005.
Disampaikan dalam Seminar llmiah
Musyawarah Nasional I
Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia Jakarta, 24 November 2007. |
|
|
No comments:
Post a Comment