DISTRIBUSI
PENDAPATAN
Definisi Distribusi Pendapatan
Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang sering digunakan dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi pendapatan perorangan. Kedua, kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan garis diagonal, semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk koefisien gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata. Demikian juga sebaliknya. Kuznets (1995) dalam penelitiannya di negara-negara maju berpendapat bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Penelitian inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets U terbalik. Sementara itu menurut Oshima (1992) bahwa negara-negara Asia nampaknya mengikuti kurva Kuznets dalam kesejahteraan pendapatan. Ardani (1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
2. Distribusi Ukuran
Distribusi ukuran adalah besar atau kecilnya pendapatan yang diterima masing-masing orang. Distribusi pendapatan perseorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan indikator yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Yang diperhatikan di sini adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana sumbernya, entah itu bunga simpanan atau tabungan, laba usaha, utang, hadiah ataupun warisan. Berdasarkan pendapatan tersebut, lalu dikelompokkan menjadi lima kelompok, biasa disebut kuintil (quintiles) atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok. Selanjutnya dihitung berapa % dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok, dan bertolak dari perhitungan ini mereka langsung memperkirakan tingkat pemerataan atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat atau negara yang bersangkutan.
3. Kurva Lorenz
Sumbu horizontal menyatakan jumlah penerimaan pendapatan dalam persentase kumulatif. Misalnya, pada titik 20 kita mendapati populasi atau kelompok terendah (penduduk yang paling miskin) yang jumlahnya meliputi 20 persen dari jumlah total penduduk. Pada titik 60 terdapat 60 persen kelompok bawah, demikian seterusnya sampai pada sumbu yang paling ujung yang meliputi 100 persen atau seluruh populasi atau jumlah penduduk. Sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah (kelompok) penduduk tersebut. Sumbu tersebut juga berakhir pada titik 100 persen, sehingga kedua sumbu (vertikal dan horisontal) sama panjangnya. GAMBAR KURVA LORENZ Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan persentase jumlah penerimanya (persentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk. Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan. Persentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik di sepanjang garis diagonal tersebut persis sama dengan persentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif actual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama, misalnya, satu tahun. Sumbu horisontal dan sumbu vertikal dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama; sumbu vertikal mewakili kelompok atau kategori (jumlah-jumlah) pendapatan, sedangkan sumbu yang horisontal melambangkan kelompok-kelompok penduduk atau rumah tangga yang menerima masing-masing dari kesepuluh kelompok pendapatan tersebut. Titik A menunjukkan bahwa 10 persen kelompok terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 1,8 persen total pendapatan (pendapatan nasional). Titik B menunjukkan bahwa 20 persen kelompok terbawah yang hanya menerima 5 persen dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi masing-masing 8 kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah, menunjukkan 50 persen penduduk hanya menerima 19,8 persen dari total pendapatan.
4. Koefisien Gini
dan Ukuran Ketimpangan
Agregat Koefisien gini adalah ukuran statistik pertebaran paling menonjol digunakan sebagai ukurab ketidaserataan distribusi pendapatan atau ketidakmerataan distribusi kekayaan. Hal ini ditetapkan sebagai rasio dengan nilai antara 0 dan 1, koefisien Gini yang rendah menunjukkan lebih sama distribusi pendapatan atau kekayaan, sedangkan koefisien Gini yang tinggi menunjukkan ketidakmerataan distribusi. 0 berkaitan dengan kesetaraan sempurna (setiap orang memiliki pendapatan yang sama persis) dan 1 berkaitan dengan ketidaksetaraan sempurna (di mana satu orang memiliki semua pendapatan, sementara orang lain memiliki pendapatan nol).
Keuntungan dengan menggunakan indeks gini sebagai ukuran ketidakmerataan adalah :
o Koefisien Gini menunjukkan ukuran ketidaksetaraan melalui sebuah alat analisis rasio, daripada variabel tidak representatif dari sebagian besar masyarakat, seperti pendapatan per kapita atau produk domestik bruto.
o Dapat digunakan untuk membandingkan distribusi pendapatan penduduk di berbagai sektor maupun negara, misalnya koefisien Gini untuk daerah perkotaan yang berbeda dari daerah pedesaan di banyak negara (walaupun di negara Amerika Serikat nilai koefisien gini di wilayah perkotaan dan pedesaan hampir sama).
o Indeks gini dapat membandingkan lintas daerah atau lintas negara dan mudah diinterpretasikan. PDB statistik sering dikritik karena tidak mewakili perubahan bagi seluruh penduduk. Indeks gina akan menunjukkan seberapa besar pendapatan perkapita ternyata mengalami ketimpangan. Jadi meskipun pendapatan perkapita naik, namun apabila indeks gini masih tinggi artinya kemiskinan bisa jadi masih ada dalam masyarakat
o Koefisien Gini yang dapat digunakan untuk menunjukkan bagaimana distribusi pendapatan telah berubah dalam suatu negara selama periode waktu tertentu, sehingga sangat mungkin untuk melihat apakah ketidakmerataan meningkat atau menurun.
KG = Angka Koefisien Gini
X = Proporsi jumlah rumah tangga kumulatif dalam kelas i
fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas i
Yi = Proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif kelas i
Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada. Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/ kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35. 5.
Hipotesis Kuznets
Data data ekonomi periode 1970 – 1980, terutama mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terutama di LDS (Less Developing Countries), terutama di negara negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, seperti Indonesia, menunjukan seakan akan korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan produk domestik bruto, atau semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan studi yang dilakukan di negara negara Eropa Barat, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak atau justru membuat ketimpangan antara kaum miskin dan kaum kaya semakin melebar. Jantti (1997) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa fenomena tersebut timbul karena adanya perubahan suplly of labor (masuknya buruh murah dari Turki, atau negara Eropa Timur kedalam pasar buruh di Eropa Barat). Berdasarkan fakta tersebut, muncul pertanyaan: mengapa terjadi trade-off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Kerangka pemikiran ini yang melandasi Hipotesis Kuznets. Yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. Namun dalam jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets”. Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa studi yang mengambil data time series membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih bertumpu pada sektor pertanian (rural economy) menunjukan hubungan negatif. Ini berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets. Pemahaman atas variabel-variable tersebut akan membuktikan bahwa negara pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya adalah kesejahteraan pun bisa meningkat di negara-negara yang berbasis pertanian. Procovitch pernah menyampaikan beberapa dugaannya tentang sebab-sebab terjadinya kepincangan pembagian pendapatan yakni pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, perkembangan kota desa, dan sistem pemerintahan yang bersifat plutokratis. Beberapa aspek yang telah diduga oleh Procovits pada tahun 1955 dikembangkan oleh Kuznets, yang sampai dewasa ini masih dikenal dengan hipotesa Kuznets, yang menimbulkan kontroversi di kalangan peneliti distribusi pendapatan di berbagai negara. Hipotesa ini menyatakan bahwa hubungan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepincangan pembagian pendapatan pada tahap ini menjadi negatif. Jadi, tahap pertama pembangunan ekonomi akan mengalami tingkat kepincangan pembagian pendapatan yang semakin memburuk, stabil dan akhirnya menurun. Pola perkembangan ini menurut Kuznets tidak terlepas dari kondisi sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Penyebabnya adalah terjadinya konsentrasi kekayaan pada kelompok atas, kurang efektifnya pajak yang progresif, dan terjadinya akumulasi pemilikan modal. Chiswick menyatakan bahwa dengan meningkatnya pembangunan ekonomi, kesenjangan pembagian penghasilan masyarakat juga meningkat, karena semakin cepat ekonomi berkembang, maka orang mengharapkan hasil yang semakin tinggi dari pendidikannya; sementara, kesempatan pendidikan sangat terbatas. Tingkat partisipasi penduduk dalam lapangan pekerjaan berkaitan dengan jumlah penduduk muda yang sedang sekolah atau sedang bekerja. Pekerja-pekerja muda yang tingkat pendidikan dan keterampilannya relatif rendah akan memperoleh upah yang rendah pula, dan hal ini akan membuat pembagian pendapatan semakin senjang. Sebaliknya, jika penduduk muda ini masih tetap menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dan keterampilannya, berakibat berkurangnya kelompok penduduk yang berpendapatan rendah sehingga akibat selanjutnya adalah tingkat kesenjangan distribusi pendapatan pun akan menurun.
6. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia Masalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
a. Distribusi Pendapatan Antar Golongan
Pendapatan Jika dilihat dari hasil penelitian SUSENAS dengan menggunakan koefisien Gini, maka akan terlihat bahwa distribusi pendapatan di daerah perkotaan di Jawa lebih buruk daripada daerah di luar Jawa, begitu pula dengan daerah pedesaannya daerah Jawa memiliki tingkat kesenjangan distribusi pendapatan yang rendah bila dibandingkan dengan daerah di luar Jawa.
b. Distribusi Pendapatan Antara Daerah Perkotaan dan Pedesaan
Menurut Gupta dari World Bank, pola pembangunan Indonesia memperlihatkan suatu urban bias, yaitu pembangunan yang berorientasi ke daerah perkotaan, dengan tekanan yang berat pada sektor industri yang terorganisir, yang merupakan sebab terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih parah lagi di kemudian hari. Menurut Micahel Lipton, seorang ekonom Inggris, urban bias seringkali terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana alokasi sumber-sumber daya lebih banyak diprioritaskan di daerah perkotaan daripada pertimbangan pemerataan atau efisiensi. Kembali kita perhatikan penjelasan teori ekonomi yang dualistik tentang terjadi kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara sedang berkembang, maka pertama-tama relavansinya terlihat dalam pola kesenjangan yang berbeda antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Oshima menjelaskan keadaan ini (kesenjangan di desa lebih tinggi dari pada di kota), sebagai hal yang unik. Dia meramalkan kesenjangan tersebut akan lebih lebar jika proses pembangunan pedesaan masih akan berlanjut.
c. Distribusi Pendapatan Antar Daerah
Ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di Indonesia serta penyebaran sumber daya alam yang tidak merata menjadi penyebab tidak meratanya distribusi pendapatan antar daerah di Indonesia khususnya.
Agregat Koefisien gini adalah ukuran statistik pertebaran paling menonjol digunakan sebagai ukurab ketidaserataan distribusi pendapatan atau ketidakmerataan distribusi kekayaan. Hal ini ditetapkan sebagai rasio dengan nilai antara 0 dan 1, koefisien Gini yang rendah menunjukkan lebih sama distribusi pendapatan atau kekayaan, sedangkan koefisien Gini yang tinggi menunjukkan ketidakmerataan distribusi. 0 berkaitan dengan kesetaraan sempurna (setiap orang memiliki pendapatan yang sama persis) dan 1 berkaitan dengan ketidaksetaraan sempurna (di mana satu orang memiliki semua pendapatan, sementara orang lain memiliki pendapatan nol).
Keuntungan dengan menggunakan indeks gini sebagai ukuran ketidakmerataan adalah :
o Koefisien Gini menunjukkan ukuran ketidaksetaraan melalui sebuah alat analisis rasio, daripada variabel tidak representatif dari sebagian besar masyarakat, seperti pendapatan per kapita atau produk domestik bruto.
o Dapat digunakan untuk membandingkan distribusi pendapatan penduduk di berbagai sektor maupun negara, misalnya koefisien Gini untuk daerah perkotaan yang berbeda dari daerah pedesaan di banyak negara (walaupun di negara Amerika Serikat nilai koefisien gini di wilayah perkotaan dan pedesaan hampir sama).
o Indeks gini dapat membandingkan lintas daerah atau lintas negara dan mudah diinterpretasikan. PDB statistik sering dikritik karena tidak mewakili perubahan bagi seluruh penduduk. Indeks gina akan menunjukkan seberapa besar pendapatan perkapita ternyata mengalami ketimpangan. Jadi meskipun pendapatan perkapita naik, namun apabila indeks gini masih tinggi artinya kemiskinan bisa jadi masih ada dalam masyarakat
o Koefisien Gini yang dapat digunakan untuk menunjukkan bagaimana distribusi pendapatan telah berubah dalam suatu negara selama periode waktu tertentu, sehingga sangat mungkin untuk melihat apakah ketidakmerataan meningkat atau menurun.
KG = Angka Koefisien Gini
X = Proporsi jumlah rumah tangga kumulatif dalam kelas i
fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas i
Yi = Proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif kelas i
Pengukuran tingkat ketimpangan atau ketidakmerataan pendapatan yang relatif sangat sederhana pada suatu negara dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada. Pada Figur 5-6, rasio yang dimaksud adalah rasio atau perbandingan bidang A terhadap total segitiga BCD. Rasio inilah yang dikenal sebagai rasio konsentrasi Gini (Gini concentration ratio) yang seringkali disingkat dengan istilah koefisien Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/ kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Angka ketimpangan untuk negara-negara yang ketimpangan pendapatan di kalangan penduduknya dikenal tajam berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal relatif paling baik (paling merata), berkisar antara 0,20 sampai 0,35. 5.
Hipotesis Kuznets
Data data ekonomi periode 1970 – 1980, terutama mengenai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terutama di LDS (Less Developing Countries), terutama di negara negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat, seperti Indonesia, menunjukan seakan akan korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan produk domestik bruto, atau semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan studi yang dilakukan di negara negara Eropa Barat, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak atau justru membuat ketimpangan antara kaum miskin dan kaum kaya semakin melebar. Jantti (1997) dalam Tulus Tambunan (2003) mengemukakan bahwa fenomena tersebut timbul karena adanya perubahan suplly of labor (masuknya buruh murah dari Turki, atau negara Eropa Timur kedalam pasar buruh di Eropa Barat). Berdasarkan fakta tersebut, muncul pertanyaan: mengapa terjadi trade-off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Kerangka pemikiran ini yang melandasi Hipotesis Kuznets. Yaitu, dalam jangka pendek ada korelasi positip antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan kesenjangan pendapatan. Namun dalam jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif. Artinya, dalam jangka pendek meningkatnya pendapatan akan diikuti dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan, namun dalam jangka panjang peningkatan pendapatan akan diikuti dengan penurunan kesenjangan pendapatan. Fenomena ini dikenal dengan nama “Kurva U terbalik dari Hipotesis Kuznets”. Namun, hipotesis Kuznets ini mulai dipertanyakan. Beberapa studi yang mengambil data time series membuktikan bahwa dalam beberapa negara yang masih bertumpu pada sektor pertanian (rural economy) menunjukan hubungan negatif. Ini berarti bertolak belakang dari hipotesis Kuznets. Pemahaman atas variabel-variable tersebut akan membuktikan bahwa negara pertanian tidak identik dengan kemiskinan atau mungkin lebih tepatnya adalah kesejahteraan pun bisa meningkat di negara-negara yang berbasis pertanian. Procovitch pernah menyampaikan beberapa dugaannya tentang sebab-sebab terjadinya kepincangan pembagian pendapatan yakni pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, perkembangan kota desa, dan sistem pemerintahan yang bersifat plutokratis. Beberapa aspek yang telah diduga oleh Procovits pada tahun 1955 dikembangkan oleh Kuznets, yang sampai dewasa ini masih dikenal dengan hipotesa Kuznets, yang menimbulkan kontroversi di kalangan peneliti distribusi pendapatan di berbagai negara. Hipotesa ini menyatakan bahwa hubungan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepincangan pembagian pendapatan pada tahap ini menjadi negatif. Jadi, tahap pertama pembangunan ekonomi akan mengalami tingkat kepincangan pembagian pendapatan yang semakin memburuk, stabil dan akhirnya menurun. Pola perkembangan ini menurut Kuznets tidak terlepas dari kondisi sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Penyebabnya adalah terjadinya konsentrasi kekayaan pada kelompok atas, kurang efektifnya pajak yang progresif, dan terjadinya akumulasi pemilikan modal. Chiswick menyatakan bahwa dengan meningkatnya pembangunan ekonomi, kesenjangan pembagian penghasilan masyarakat juga meningkat, karena semakin cepat ekonomi berkembang, maka orang mengharapkan hasil yang semakin tinggi dari pendidikannya; sementara, kesempatan pendidikan sangat terbatas. Tingkat partisipasi penduduk dalam lapangan pekerjaan berkaitan dengan jumlah penduduk muda yang sedang sekolah atau sedang bekerja. Pekerja-pekerja muda yang tingkat pendidikan dan keterampilannya relatif rendah akan memperoleh upah yang rendah pula, dan hal ini akan membuat pembagian pendapatan semakin senjang. Sebaliknya, jika penduduk muda ini masih tetap menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dan keterampilannya, berakibat berkurangnya kelompok penduduk yang berpendapatan rendah sehingga akibat selanjutnya adalah tingkat kesenjangan distribusi pendapatan pun akan menurun.
6. Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia Masalah ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
a. Distribusi Pendapatan Antar Golongan
Pendapatan Jika dilihat dari hasil penelitian SUSENAS dengan menggunakan koefisien Gini, maka akan terlihat bahwa distribusi pendapatan di daerah perkotaan di Jawa lebih buruk daripada daerah di luar Jawa, begitu pula dengan daerah pedesaannya daerah Jawa memiliki tingkat kesenjangan distribusi pendapatan yang rendah bila dibandingkan dengan daerah di luar Jawa.
b. Distribusi Pendapatan Antara Daerah Perkotaan dan Pedesaan
Menurut Gupta dari World Bank, pola pembangunan Indonesia memperlihatkan suatu urban bias, yaitu pembangunan yang berorientasi ke daerah perkotaan, dengan tekanan yang berat pada sektor industri yang terorganisir, yang merupakan sebab terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih parah lagi di kemudian hari. Menurut Micahel Lipton, seorang ekonom Inggris, urban bias seringkali terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana alokasi sumber-sumber daya lebih banyak diprioritaskan di daerah perkotaan daripada pertimbangan pemerataan atau efisiensi. Kembali kita perhatikan penjelasan teori ekonomi yang dualistik tentang terjadi kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara sedang berkembang, maka pertama-tama relavansinya terlihat dalam pola kesenjangan yang berbeda antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Oshima menjelaskan keadaan ini (kesenjangan di desa lebih tinggi dari pada di kota), sebagai hal yang unik. Dia meramalkan kesenjangan tersebut akan lebih lebar jika proses pembangunan pedesaan masih akan berlanjut.
c. Distribusi Pendapatan Antar Daerah
Ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di Indonesia serta penyebaran sumber daya alam yang tidak merata menjadi penyebab tidak meratanya distribusi pendapatan antar daerah di Indonesia khususnya.
Ketimpangan yang besar dalam
distribusi pendapatan atau kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan
dua masalah besar di banyak negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia.
Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang kemudian memicu
terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan
menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan
dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan
sosial yang dampaknya cukup negatif. Negara Indonesia secara geografis dan
klimatalogis merupakan negara yang mempunyai potensi ekonomi yang sangat
tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di dunia, iklim yang memungkinkan
untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan kandungan bumi Indonesia
yang sangat kaya, merupakan bahan (ingredient) yang utama untuk membuat negara
menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus yang mampu memanfaatkan
semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu mengantarkan negara
Indonesia menjadi negara yang makmur Indikator yang sering digunakan untuk
mengetahui kesenjangan distribusi pendapatan adalah rasio gini dan criteria
Bank Dunia (BPS, 1994). Nilai rasio gini (gini ratio) berkisar antara nol dan
satu. Bila rasio gini sama dengan nol berarti distribusi pendapatan amat merata
sekali karena setiap golongan penduduk menerima bagian pendapatan yang sama.
Secara grafis, ini ditunjukkan oleh berimpitnya kurva lorens dengan garis
kemerataan sempurna. Namun, bila rasio gini sama dengan satu menunjukan bahwa
terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang sempurna karena seluruh
pendapatan hanya dinikmati oleh satu orang saja. Singkatnya, semakin tinggi
nilai rasio gini maka semakin timpang distribusi pendapatan suatu negara. Sebaliknya,
semakin rendah nilai rasio gini berarti semakin merata distribusi pendapatan.
Kriteria Bank Dunia mendasarkan penilaian distribusi pendapatan atas pendapatan
yang diterima oleh 40% penduduk berpendapatan terendah.
Kesenjangan distribusi pendapatan dikategorikan:
1. Tinggi, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima kurang dari 12% bagian pendapatan.
2. Sedang, bila 40% penduduk berpenghasilan terendah menerima 12 hingga 17% bagian pendapatan
3. Rendah, bila 40%, penduduk berpenghasilan terendah menerima lebih dari 17% bagian pendapatan.
TERKAIT :
PERTUMBUHAN EKONOMI
KONTROVERSI PERTUMBUHAN
EKONOMI PANCASILA
No comments:
Post a Comment