Sejarah
Perkembangan Lingkungan Hidup
·
Sejarah
Sekitar tahun 1980an istilah lingkungan hidup
belum begitu dikenal di Indonesia. Pengelolaan dan pembangunannya baru dirintis
sejak Pembangunan Lima Tahun ke III (1979-1984) pada masa Orde Baru. Hasil
utama dari pengembangan lingkungan hidup ini tampak pada munculnya kesadaran
dan kepedulian dikalangan masyarakat akan masalah pencemaran. Selama pelita III
bidang lingkungan hidup ditangani oleh sseorang menteri negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH) dengan prioritas pada peletakan
dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak”, dengan tujuan agar
lingkungan dan pembangunan tidak saling dipertentangkan.
Pada Pelita IV-VI, bidang Lingkungan
Hidup berada dibawah Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(Men-KLH), dengan prioritas pada keserasian antara kependudukan, lingkungan
hidup dan pembangunan guna mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila kebijaksanaan
dalam menangani ketiga bidang tersebut selalu dilakukam secara serasi menuju
satu tujuan. Bila lingkungan dan sumber daya alam tidak mendukung penduduk dan
menunjang sumber daya manusia atau sebaliknya, maka pembangunan mungkin saja
dapat berjalan, namun dengan resiko timbulnya ancaman pada kualitas dan daya
dukung lingkungan.
Pada Pelita VI, bidang lingkungan
hidup secara kelembagaan dipisahkan dari bidang kependudukan dan berada dibawah
Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH), karena lingkungan hidup dirasakan
perlu ditangani secara lebih fokus sehubungan dengan semakin luas, dan
kompleksnya tantangan pada era industrialisasi dan era informasi, yakni
tumbuhnya arus globalisasi, munculnya komitmen Internasional, dan munculnya
komitmen Nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Cikal bakal bangkitnya kesadaran
lingkungan di Indonesia adalah ketika menyongsong konferensi Lingkungan Hidup
sedunia I di Stockholm, Swedia pada bulan Juni 1972. Perhatian terhadap masalah
lingkungan mulai tampak sebagaimana terlihat pada peraturan perundangan
yangdisusun ketika itu, yakni sudah memuat ketentuan yang mengatur pemanfaatan
sumber daya alam secara lestari dengan mempertimbangkan aspek konservasinya.
Namun pendekatan yang dilakukan masih bersifat sektoral dengan perhatian
terhadap aspek pengelolaan lingkungan yang masih belum memadai. Disamping itu
sebagai persiapan menghadapi konferensi Stockholm Universitas Pejajaran,
Bandung merintis pendirian Lembaga Ekologi dan menyelenggarakan seminar tentang
“Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional”. Hasilnya dijabarkan
kedalam Country Report RI Dan disampaikan pada konferensi itu.
Konferensi
PBB tentang Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan pada bulan Juni 1972
di Stockholm, Swedia, dapat dianggap sebagai pengejawantahan kesadaran
masyarakat Internasional akan pentingnya kerjasama penanganan masalah
lingkungan hidup dan sekaligus menjadi titik awal pertemuan berikutnya yang
membicarakan masalah pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi stockholm
dengan motto “Hanya Satu Bumi” itu menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang
dapat dikelompokan menjadi lima bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan
sumber daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunan.
Deklarasi
Stockholm menyerukan perlunya komitmen, pandangan dan prinsip bersama
bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan
hidup umat manusia. Konsep lingkungan hidup manusia yang diperkenalkan
menekankan perlunya langkah-langkah pengendalian laju pertumbuhan penduduk,
menghapuskan kemiskinan dan menghilangkan kelaparan yang diderita sebagian
besar manusia di negara berkembang. Konferensi ini mulai berupaya melibatkan
seluruh pemerintah dalam proses penilaian dan perencanaan lingkungan hidup,
mempersatukan pendapat dan kepedulian negara maju dan berkembang bagi penyelamatan
bumi. Menggalakan partgisipasi masyarakat serta mengembangkan pembangunan
dengan pertimbangan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut, konferensi
Stockholm mengkaji ulang pola pembangunan konvensional yang selama ini
cenderung merusak bumi yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan, tingkat
pertumbuhan ekonomi, tekanan penduduk di Negara Berkembang, pola konsumsi yang
berlebihan di negara maju, serta ketimpangan tata ekonomi internasional.
Indonesia
hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut menandatangani kesepakatan
untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan. Sebagai tindak
lanjutnya, dibentuklah panitia antar departemen
yang disebut Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang
Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja dibidang
lingkungan hidup dan diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim selaku Men-Pan/Wakil
Ketua Ketua Bappenas untuk merumuskan program kebijaksanaan lingkungan hidup.
Keberadaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan hidup dirasakan mendesak
agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di
daerah lebih terjamin.
Pada
tahun 1975 dibentuk panitia Inventarisasi dan Evaluasi kekayaan alam dengan
tugas pokoknya untuk menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan
persediaan serta perkembangan teknologi, baik dimasa kini maupun dimasa
mendatang serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola
tersebut. Pengelolaan lingkungan hidup pada periode ini masih berupa langkah
awal pemantapan kemauan politik sebagai persiapan untuk mewujudkan
gagasan-gagasan dari Konferensi Stockholm tersebut.
Pada
tahun 1978 diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup(Men-PPLH) dengan tugas pokok mengoordinasikan pengelolaan lingkungan
hidup di berbagai instansi pusat maupun daerah, khususnya untuk mengembangkan
segi-segi lingkungan hidup dalam aspek pembangunan, dan jabatan menteri
dipegang oleh Prof. Dr. Emil Salim. Landasan berbagai ketentuan dan peraturan
mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup seperti perlindungan, pelestarian
dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak
lingkungan, baku mutu lingkungan dan lain-lain. Dituangkan dalam UU no. 4 Tahun
1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 4
Tahun 1982 tersebut antara lain menggariskan bahwa manusia dan perilakunya
nmerupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu perlu adanya perpaduan antara
aspek kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu dibentuklah
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH) dengan tetap
Prof. Dr. Emil Salim sebagai menterinya. Status Men-KLH beserta menterinya
tetap dipertahankan sampai periode 1988-1993, pada periode mana yang gencar
dilakukan adalah pemasyarakatan pembangunan berkelanjutan. Seluruh bidang
kegiatan kependudukan dan lingkungan hidup ditujukan untuk menopang pembangunan
berkelanjutan. Hal ini berkaitan juga dengan dengan akan diselenggarakannya
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pengembangan atau yang lebih
populer dengan sebutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro
pada bulan Juni 1992.
Hasil-hasil
dari konferensi Rio ini sangat menekankan perlunya konsep pembangunan
berkelanjutan untuk nmenjamin pemanfaatan sumber daya alam tidak hanya untuk
pembangunan di masa sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang.
Di dalam periode ini pula, muncul gagasan bahwa kependudukan dan lingkungan
hidup merupakan dua aspek tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Produk hukum
penting yang dihasilkan selama periode Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(1988-1993) ini antara lain, dibidang kependudukan: RUU Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
telah disahkan DPR pada 21 Maret 1992, yang kemudian diundangkan menjadi
UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera pada tanggal 6 April 1992. Di bidang lingkungan hidup, telah
dikeluarkan PP No. 20 Tahun 1990 tentang Baku Mutu Lingkungan dan disetujuinya
RUU Penataan Ruang di DPR.
Seperti
periode sebelumnya, berbagai kelemahan masih dihadapi baik dalam hal
kebijaksanaan, kelembagaan dan peraturan perundangan, sumber daya manusia
maupun pendanaan. Hal ini bukan dikarenakan kegagalan pembangunan disektor lingkungan
hidup ini, melainkan cenderung disebabkan semakin luas, intensif dan
kompleksnya masalah lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan makin pesatnya
kegiatan pembangunan selama periode dasawarsa tersebut.
Ketika
proses industrialisasi mulai dilaksanakan
secara besar-besaran, kemudian dipandang perlu membentuk lembaga Kementrian
yang khusus bertugas menangani dan mengoordinir pengelolaan hidup di Indonesia.
Untuk itu pada tahun 1993 dibentuklah Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
atau Men-LH dengan Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Perumusan
kebijaksanaan dan srategi nasional pada masa ini ditujukan untuk mengantisipasi
kemungkinan penurunan kualitas lingkungan hidup dimasa mendatang sehubungan
titik berat pembangunan berada pada bidang industri. Periode Men-LH ini
merupakan wancawarsa menuju pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan dengan perhatian utama diarahkan pada upaya pembinaan kemitraan
kelembagaan.
Pada
periode Kementrian Negara Lingkungan Hidup teridentifikasi bahwa penyebab
kerusakan lingkungan bersumber dari: (i) lemahnya penguatan dan dukungan
politik untuk pelestarian lingkungan dalam proses pengambilan keputusan, (ii)
rendahnya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar peraturan dibidang
lingkungan, dan (iii) kemiskinan. Strategi yang ditempuh, antara lain,
pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan lingkungan. Maka pada awal
2000an telah diadakan penggabungan
antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). KNLH ini
berlaku sampai sekarang dengan Ir. Rachmat Witoelar sebagai menterinya.
Hasil-hasil dari konferensi sangat
menekankan perlunya konsep pembangunan berkelanjutan untuk menjalin pemanaatan
sumber daya tidak hanya untuk pembangunan dimasa sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan
dating. Didalam periode ini pula, muncul gagasan bahwa kependudukan dan
lingkungan hidup merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Produk hokum penting yang dihasilkan selama periode Kependudukan dan
Lingkungan Hidup (1988-1993) ini antara lain, di bidang kependudukan: RUU
perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sejahtera telah disahkan DPR
pada 21 Maret 1992, yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 10 tahun 1992
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pada
tanggal 6 April 1992. Di bidang lingkungan hidup, telah dikeluarkan PP No. 20
tahun 1990 tentang Baku Mutu Lingkungan dan disetujuinya RUU Penataan Ruang di
DPR.
Seperti periode sebelumnya, berbagai
kelemahan masih dihadapi baik dalam hal kebijaksanaan, kelembagaan dan
peraturan perundangan, sumber daya manusia maupun pendanaan. Hal ini bukan
dikarenakan kegagalan pembangunan di sector lingkungan hidup ini, melainkan
cenderung disebabkan karena semakin luas, intensif dan kompleksnya permasalahan
lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan makin pesatnya pembangunan selama
periode dasawarsa tersebut.
Ketika proses industrialisasi mulai
dilaksanakan secara besar-besaran, kemudian dipandang perlu membentuk lembaga
Kementrian yang khusus bertugas mengenai dan mengoordinir pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia. Untuk itu pada tahun 1993 dibentuklah
kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
(Men-LH), dengan Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Perumusan
kebijaksanaan dan strategi nasional pada masa ini ditujukan untuk
mengantisipasi kemungkinan penurunan kualitas lingkungan hidup di masa
mendatang sehubungan titik berat pembangunan berada pada bidang industry.
Periode Men-LH ini merupakan pancawarsa menuju pembangunan berkelanjutan yag
berwawasan lingkungan dengan perhatian utama diarahkan pada upaya pembinaan
kemitraan kelembagaan.
Pada
periode Kementrian Negara Lingkungan Hidup teridentifikasi bahwa penyebab
kerusakan lingkungan bersumber dari: (i)
lemahnya penguatan dan dukungan politik untuk pelestarian lingkungan dalam
proses pengambilan keputusan, (ii)
rendahnya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar peraturan di
bidang lingkungan, dan (iii) kemiskinan. Strategi yang ditempuh, antara lain,
pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan lingkungan. Maka pada awal
2000an telah diadakan penggabungan antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjadi Kementrian Negara
Lingkungan Hidup (KNLH). KNLH ini berlaku sampai sekarang dengan Ir. Rachmat
Witoelar sebagai menterinya
No comments:
Post a Comment