KLIK gambar untuk menutup Iklan

Friday, October 2, 2015

Sejarah Perkembangan Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia

Sejarah Perkembangan Lingkungan Hidup

·         Sejarah
   Sekitar tahun 1980an istilah lingkungan hidup belum begitu dikenal di Indonesia. Pengelolaan dan pembangunannya baru dirintis sejak Pembangunan Lima Tahun ke III (1979-1984) pada masa Orde Baru. Hasil utama dari pengembangan lingkungan hidup ini tampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian dikalangan masyarakat akan masalah pencemaran. Selama pelita III bidang lingkungan hidup ditangani oleh sseorang menteri negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH) dengan prioritas pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak”, dengan tujuan agar lingkungan dan pembangunan tidak saling dipertentangkan.
            Pada Pelita IV-VI, bidang Lingkungan Hidup berada dibawah Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH), dengan prioritas pada keserasian antara kependudukan, lingkungan hidup dan pembangunan guna mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila kebijaksanaan dalam menangani ketiga bidang tersebut selalu dilakukam secara serasi menuju satu tujuan. Bila lingkungan dan sumber daya alam tidak mendukung penduduk dan menunjang sumber daya manusia atau sebaliknya, maka pembangunan mungkin saja dapat berjalan, namun dengan resiko timbulnya ancaman pada kualitas dan daya dukung lingkungan.
            Pada Pelita VI, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan dipisahkan dari bidang kependudukan dan berada dibawah Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH), karena lingkungan hidup dirasakan perlu ditangani secara lebih fokus sehubungan dengan semakin luas, dan kompleksnya tantangan pada era industrialisasi dan era informasi, yakni tumbuhnya arus globalisasi, munculnya komitmen Internasional, dan munculnya komitmen Nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
            Cikal bakal bangkitnya kesadaran lingkungan di Indonesia adalah ketika menyongsong konferensi Lingkungan Hidup sedunia I di Stockholm, Swedia pada bulan Juni 1972. Perhatian terhadap masalah lingkungan mulai tampak sebagaimana terlihat pada peraturan perundangan yangdisusun ketika itu, yakni sudah memuat ketentuan yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dengan mempertimbangkan aspek konservasinya. Namun pendekatan yang dilakukan masih bersifat sektoral dengan perhatian terhadap aspek pengelolaan lingkungan yang masih belum memadai. Disamping itu sebagai persiapan menghadapi konferensi Stockholm Universitas Pejajaran, Bandung merintis pendirian Lembaga Ekologi dan menyelenggarakan seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional”. Hasilnya dijabarkan kedalam Country Report RI Dan disampaikan pada konferensi itu.
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan pada bulan Juni 1972 di Stockholm, Swedia, dapat dianggap sebagai pengejawantahan kesadaran masyarakat Internasional akan pentingnya kerjasama penanganan masalah lingkungan hidup dan sekaligus menjadi titik awal pertemuan berikutnya yang membicarakan masalah pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi stockholm dengan motto “Hanya Satu Bumi” itu menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang dapat dikelompokan menjadi lima bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunan.
Deklarasi Stockholm menyerukan perlunya komitmen, pandangan dan prinsip bersama bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup umat manusia. Konsep lingkungan hidup manusia yang diperkenalkan menekankan perlunya langkah-langkah pengendalian laju pertumbuhan penduduk, menghapuskan kemiskinan dan menghilangkan kelaparan yang diderita sebagian besar manusia di negara berkembang. Konferensi ini mulai berupaya melibatkan seluruh pemerintah dalam proses penilaian dan perencanaan lingkungan hidup, mempersatukan pendapat dan kepedulian negara maju dan berkembang bagi penyelamatan bumi. Menggalakan partgisipasi masyarakat serta mengembangkan pembangunan dengan pertimbangan lingkungan. Sehubungan dengan hal tersebut, konferensi Stockholm mengkaji ulang pola pembangunan konvensional yang selama ini cenderung merusak bumi yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan, tingkat pertumbuhan ekonomi, tekanan penduduk di Negara Berkembang, pola konsumsi yang berlebihan di negara maju, serta ketimpangan tata ekonomi internasional.
Indonesia hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan. Sebagai tindak lanjutnya, dibentuklah panitia antar departemen  yang disebut Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja dibidang lingkungan hidup dan diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim selaku Men-Pan/Wakil Ketua Ketua Bappenas untuk merumuskan program kebijaksanaan lingkungan hidup. Keberadaan lembaga yang khusus mengelola lingkungan hidup dirasakan mendesak agar pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di daerah lebih terjamin.
Pada tahun 1975 dibentuk panitia Inventarisasi dan Evaluasi kekayaan alam dengan tugas pokoknya untuk menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik dimasa kini maupun dimasa mendatang serta implikasi sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut. Pengelolaan lingkungan hidup pada periode ini masih berupa langkah awal pemantapan kemauan politik sebagai persiapan untuk mewujudkan gagasan-gagasan dari Konferensi Stockholm tersebut.
Pada tahun 1978 diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup(Men-PPLH) dengan tugas pokok mengoordinasikan pengelolaan lingkungan hidup di berbagai instansi pusat maupun daerah, khususnya untuk mengembangkan segi-segi lingkungan hidup dalam aspek pembangunan, dan jabatan menteri dipegang oleh Prof. Dr. Emil Salim. Landasan berbagai ketentuan dan peraturan mengenai masalah pengelolaan lingkungan hidup seperti perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, baku mutu lingkungan dan lain-lain. Dituangkan dalam UU no. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 4 Tahun 1982 tersebut antara lain menggariskan bahwa manusia dan perilakunya nmerupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu perlu adanya perpaduan antara aspek kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu dibentuklah Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH) dengan tetap Prof. Dr. Emil Salim sebagai menterinya. Status Men-KLH beserta menterinya tetap dipertahankan sampai periode 1988-1993, pada periode mana yang gencar dilakukan adalah pemasyarakatan pembangunan berkelanjutan. Seluruh bidang kegiatan kependudukan dan lingkungan hidup ditujukan untuk menopang pembangunan berkelanjutan. Hal ini berkaitan juga dengan dengan akan diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pengembangan atau yang lebih populer dengan sebutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992.
Hasil-hasil dari konferensi Rio ini sangat menekankan perlunya konsep pembangunan berkelanjutan untuk nmenjamin pemanfaatan sumber daya alam tidak hanya untuk pembangunan di masa sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Di dalam periode ini pula, muncul gagasan bahwa kependudukan dan lingkungan hidup merupakan dua aspek tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Produk hukum penting yang dihasilkan selama periode Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1988-1993) ini antara lain, dibidang kependudukan: RUU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera  telah disahkan DPR pada 21 Maret 1992, yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pada tanggal 6 April 1992. Di bidang lingkungan hidup, telah dikeluarkan PP No. 20 Tahun 1990 tentang Baku Mutu Lingkungan dan disetujuinya RUU Penataan Ruang di DPR.
Seperti periode sebelumnya, berbagai kelemahan masih dihadapi baik dalam hal kebijaksanaan, kelembagaan dan peraturan perundangan, sumber daya manusia maupun pendanaan. Hal ini bukan dikarenakan kegagalan pembangunan disektor lingkungan hidup ini, melainkan cenderung disebabkan semakin luas, intensif dan kompleksnya masalah lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan makin pesatnya kegiatan pembangunan selama periode dasawarsa tersebut.
Ketika proses industrialisasi  mulai dilaksanakan secara besar-besaran, kemudian dipandang perlu membentuk lembaga Kementrian yang khusus bertugas menangani dan mengoordinir pengelolaan hidup di Indonesia. Untuk itu pada tahun 1993 dibentuklah Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup atau Men-LH dengan Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Perumusan kebijaksanaan dan srategi nasional pada masa ini ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kualitas lingkungan hidup dimasa mendatang sehubungan titik berat pembangunan berada pada bidang industri. Periode Men-LH ini merupakan wancawarsa menuju pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dengan perhatian utama diarahkan pada upaya pembinaan kemitraan kelembagaan.
Pada periode Kementrian Negara Lingkungan Hidup teridentifikasi bahwa penyebab kerusakan lingkungan bersumber dari: (i) lemahnya penguatan dan dukungan politik untuk pelestarian lingkungan dalam proses pengambilan keputusan, (ii) rendahnya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar peraturan dibidang lingkungan, dan (iii) kemiskinan. Strategi yang ditempuh, antara lain, pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan lingkungan. Maka pada awal 2000an telah diadakan  penggabungan antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). KNLH ini berlaku sampai sekarang dengan Ir. Rachmat Witoelar sebagai menterinya.
Hasil-hasil dari konferensi sangat menekankan perlunya konsep pembangunan berkelanjutan untuk menjalin pemanaatan sumber daya tidak hanya untuk pembangunan dimasa sekarang,  melainkan juga untuk generasi yang akan dating. Didalam periode ini pula, muncul gagasan bahwa kependudukan dan lingkungan hidup merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Produk hokum penting yang dihasilkan selama periode Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1988-1993) ini antara lain, di bidang kependudukan: RUU perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sejahtera telah disahkan DPR pada 21 Maret 1992, yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pada tanggal 6 April 1992. Di bidang lingkungan hidup, telah dikeluarkan PP No. 20 tahun 1990 tentang Baku Mutu Lingkungan dan disetujuinya RUU Penataan Ruang di DPR.
Seperti periode sebelumnya, berbagai kelemahan masih dihadapi baik dalam hal kebijaksanaan, kelembagaan dan peraturan perundangan, sumber daya manusia maupun pendanaan. Hal ini bukan dikarenakan kegagalan pembangunan di sector lingkungan hidup ini, melainkan cenderung disebabkan karena semakin luas, intensif dan kompleksnya permasalahan lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan makin pesatnya pembangunan selama periode dasawarsa tersebut.
Ketika proses industrialisasi mulai dilaksanakan secara besar-besaran, kemudian dipandang perlu membentuk lembaga Kementrian yang khusus bertugas mengenai dan mengoordinir pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Untuk itu pada tahun 1993 dibentuklah kantor  Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH), dengan Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Perumusan kebijaksanaan dan strategi nasional pada masa ini ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kualitas lingkungan hidup di masa mendatang sehubungan titik berat pembangunan berada pada bidang industry. Periode Men-LH ini merupakan pancawarsa menuju pembangunan berkelanjutan yag berwawasan lingkungan dengan perhatian utama diarahkan pada upaya pembinaan kemitraan kelembagaan.
Pada periode Kementrian Negara Lingkungan Hidup teridentifikasi bahwa penyebab kerusakan lingkungan bersumber dari:  (i) lemahnya penguatan dan dukungan politik untuk pelestarian lingkungan dalam proses pengambilan keputusan, (ii)  rendahnya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar peraturan di bidang lingkungan, dan (iii) kemiskinan. Strategi yang ditempuh, antara lain, pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan lingkungan. Maka pada awal 2000an telah diadakan penggabungan antara Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjadi Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). KNLH ini berlaku sampai sekarang dengan Ir. Rachmat Witoelar sebagai menterinya

No comments:

Post a Comment