KLIK gambar untuk menutup Iklan

Monday, April 7, 2014

KONTROVERSI PERTUMBUHAN

1.      KONTROVERSI PERTUMBUHAN

Pertumbuhan ekonomi atau sering pula disebut growth dijadikan pedoman atau tolok ukur untuk mengetahui kinerja perekonomian di suatu negara. Benarkah demikian? Salah satu indikator makroekonomi tersebut seringkali pula digunakan sebagai sarana pencitraan politik di beberapa negara. Tetapi banyak pula negara-negara yang sudah meninggalkan paradigma pertumbuhan untuk mengukur kinerja perekonomian. Bagaimana memahami pertumbuhan ekonomi dan apa pula kontroversi di dalamnya?

Secara harafiah, pertumbuhan diartikan sebagai kenaikan/penurunan dari suatu kondisi tertentu yang dinyatakan ke dalam satuan tertentu.
Pertumbuhan bisa berarti kenaikan atau penurunan, karena seperti tanaman atau organisme akan mengalami pertumbuhan, bukan penurunan. Di bidang ekonomi, pertumbuhan dinyatakan ke dalam satuan persen dari suatu kenaikan atau penurunan indikator produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP).

Produk domestik bruto (PDB) adalah total keseluruhan nilai tambah (value added) dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara di suatu negara dalam kurun waktu 1 tahun. Nilai tambah diartikan sebagai keuntungan atau laba (profit) yang selanjutnya menjadi pendapatan bagi institusi ekonomi (pemerintahan, perusahaan atau perorangan/kelompok). Biarpun barangnya sama, tetapi bisa memiliki lebih dari satu nilai tambah.
Pengertian warga negara pada definisi tersebut dapat berupa warga negara di negara tersebut (misalnya WNI) dan warga negara asing. Proses penghitungan PDB dilakukan selama 1 tahun, yaitu standar masa pencatatan laporan keuangan dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember.

Dari definisi dan pemahaman teknis di atas dapat diketahui apabila PDB atau GDP merupakan indikator makroekonomi yang menyatakan kinerja perekonomian berdasarkan aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh warga negara di suatu negara selama 1 tahun. Jika pertumbuhannya positif, maka terjadi peningkatan aktivitas perekonomian berupa penambahan kapasitas usaha, penambahan kapasitas permodalan (aset), atau penambahan jumlah tenaga kerja. Sebaliknya, apabila pertumbuhan negatif, maka terjadi penurunan aktivitas perekonomian. Selama periode sejak masa orde baru (1969-1998), Indonesia mengalami dua kali masa pertumbuhan yang negatif, yaitu pada tahun 1998 dan 1999.

Kontroversi mengenai pertumbuhan ekonomi sebagai kinerja perekonomian bersamaan pula dengan adanya kontroversi mengenai indikator PDB (GDP). Di manakah letak kontroversinya?

Kontroversi yang sesungguhnya terletak pada indikator PDB. Ada dua elemen dari definisinya yang menjadi sumber perdebatan, yaitu pengertian nilai tambah dan pengertian warga negara.





Kontroversi Nilai Tambah

Nilai tambah yang diukur dan direpresentasikan di dalam indikator PDB tidaklah menggambarkan kondisi yang sesungguhnya dari aktivitas perekonomian nasional. Seperti diketahui, perekonomian di suatu negara terbagi menjadi sektor riil dan sektor keuangan. Disebut sektor riil (real sector) karena memiliki aktivitas yang nyata terlihat, baik proses dari aktivitasnya maupun transaksi keuangannya. Lain halnya dengan sektor keuangan yang tidak memiliki aktivitas yang nyata terlihat, kecuali hanya mengelola aliran keuangan untuk mendapatkan sejumlah nilai tambah tertentu.

Mereka yang bukan termasuk ke dalam sektor riil seperti perbankan, asuransi, perusahaan pembiayaan, aktivitas di lantai bursa, dan aktivitas di pasar keuangan atau valuta asing. Nilai tambah yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas tersebut dihitung berdasarkan laba operasionalnya. Misalnya untuk perbankan dilihat dari selisih suku bunga tabungan dan kredit, di pasar modal dilihat dari selisih spot harga saham, atau di pasar valuta asing melalui selisih mata uang antar negara.

Jika dilihat dari jumlah dalam satuan mata uang, maka sektor keuangan tentunya memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDB. Lain halnya dengan sektor riil yang mendominasi kuantitas institusinya sebenarnya pula memberikan kontribusi yang tidak sedikit. Faktanya pula, jika memang hanya berorientasi untuk mendorong pertumbuhan, maka cara yang paling praktis dilakukan dengan mendorong pertumbuhan di sektor keuangan. Secara teoritis, pertumbuhan di sektor keuangan dapat memberikan pengaruh ke aktivitas di sektor riil. Namun, hal itu masih dilihat pula seberapa kuat fundamental perekonomian nasional di suatu negara.

Realitanya, negara-negara yang mengandalkan orientasi kebijakannya di sektor keuangan justru yang paling banyak bermasalah paska krisis global 2008 lalu. Kita bisa melihat bagaimana negara-negara Uni Eropa mengalami kesulitan dalam pembayaran utang-utangnya. Hal ini dikarenakan imbas dari kebijakan mereka sendiri yang lebih berorientasi untuk mendorong perkembangan di sektor keuangan. Kondisi sebaliknya terjadi pada RRC yang lebih berorientasi untuk mendorong kinerja perekonomian di sektor riil. Tidak mengherankan dengan konsistensi yang kuat mampu menjadi negara dengan cadangan devisa paling besar di dunia.

Kontroversi PDB dan pertumbuhannya berdasarkan pengertian nilai tambah terletak pada kemungkinan bias orientasi antara sektor riil dan sektor keuangan. Bisa jadi dinamika pertumbuhan ekonomi berasal dari dinamika di sektor keuangan, bukan di sektor riil. Dalam kondisi tersebut, sektor keuangan lebih banyak mendominasi volatilitas pertumbuhan di mana sektor riil lebih banyak mengalami kelesuan ataupun stagnan. Sementara itu, suatu kebijakan ekonomi seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat banyak dan keseluruhannya. Jika hanya berorientasi pada sektor keuangan, itu berarti kebijakan ekonomi belum memiliki keberpihakan ke sektor riil.





Kontroversi Definisi Warga Negara

Sekali lagi mengenai definisi yang bias dari PDB dan pertumbuhannya terletak pada pengertian warga negara. Disebutkan dalam definisi PDB mengenai aktivitas perekonomian yang dilakukan oleh warga negara di suatu negara. Di sini terdapat dua kelompok warga negara, yaitu warga negara domestik (misalnya warga negara Indonesia atau WNI) dan warga negara asing (WNA). Kedua kelompok ini melakukan aktivitas perekonomiannya di suatu negara tertentu.

Di Indonesia misalnya terdapat pabrikan perakitan otomatif yang berasal dari Jepang. Itu berarti terdapat aktivitas ekonomi dari orang asing (WNA) di wilayah NKRI yang dapat menghasilkan nilai tambah. Sama halnya dengan kepemilikan atas perkebunan kelapa sawit yang didominasi oleh warga negara Malaysia atau perusahaan-perusahaan pertambahan maupun migas yang beroperasi di wilayah NKRI. Termasuk pula di dalamnya orang asing yang memberikan jasanya seperti bekerja di Indonesia. Segala sesuatu aktivitas perekonomian dengan status kepemilikan asing atau orang asing yang kemudian menghasilkan nilai tambah akan dicatat ke dalam PDB.

Seperti diketahui apabila salah satu kebiasaan dan orientasi kebijakan perekonomian nasional adalah mendorong masuknya penanaman modal asing (PMA). Semakin banyak PMA dan realisasinya di Indonesia, maka dampaknya akan mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Peningkatan realisasi PMA secara signifikan akan mampu pula mendorong peningkatan PDB. Jika hanya berorientasi pada PMA, lalu bagaimana dengan nasib penanaman modal dalam negeri (PMDN)?

Jika merujuk pada pengertian pendapatan, maka pendapatan orang asing tersebut bukanlah milik orang Indonesia. Nilai tambah yang mereka hasilkan dari aktivitas ekonominya di Indonesia bukanlah merupakan nilai nasional. Mereka tetap dicatat ke dalam PDB, akan tetapi konteksnya bukan nasional.

Dari pengertian warga negara dalam PDB dapat dilihat apabila PDB tidak selalu merepresentasikan atau mewakili kinerja perekonomian nasional. Jika hendak merepresentasikan secara nasional, maka seharusnya digunakan indikator Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP). Besarnya PNB adalah besarnya PDB dikurangi faktor-faktor yang berasal dari luar negeri. Apabila faktor-faktor yang berasal dari luar negeri lebih dominan atau lebih dinamis, maka dinamika angka pertumbuhan lebih banyak berasal dari faktor-faktor luar negeri.

Angka Pertumbuhan Yang Ideal

Idealnya, angka pertumbuhan ekonomi adalah positif yang berarti terdapat peningkatan aktivitas perekonomian di negara tersebut. Seperti halnya tumbuh dan berkembang suatu makhluk hidup. Jumlah penduduk (populasi) terus mengalami peningkatan yang berarti akan diikuti pula peningkatan tensi kegiatan perekonomian. Selain faktor populasi yang terus berkembang, angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan pula adanya gerak dinamis aktivitas perekonomian yang semakin berkembang. Misalnya, dari perusahaan kecil tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan berskala lebih besar.

Angka pertumbuhan ekonomi di suatu negara terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu di bawah 5% dan di atas 5%. Tidak ada tolok ukur absolut untuk besarnya angka pertumbuhan yang ideal. Rata-rata angka pertumbuhan ekonomi di seluruh negara berdasarkan nilai PDB setiap tahunnya berada di bawah 10%. Angka pertumbuhan yang ideal adalah angka pertumbuhan yang besarnya mampu merepresentasikan dinamika perekonomian di negara tersebut. Amerika Serikat memiliki rata-rata pertumbuhan PDB sekitar 1% hingga 2%. Demikian pula rata-rata negara Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan yang mencapai kurang dari 3% per tahunnya. Untuk RRC dalam beberapa tahun terakhir ini mencapai di atas 5%.

Sejak masa PELITA (1969-1998), Indonesia memiliki rata-rata angka petumbuhan ekonomi di atas 5% per tahunnya. Selama periode 1998 hingga 2000 pernah mencapai di bawah 5% per tahun, bahkan mencapai pertumbuhan negatif pada tahun 1998.
Hingga saat ini pula, pemerintah senantiasa berorientasi mencapai pertumbuhan di atas 5% per tahun. Angka pertumbuhan di atas 5% dikatakan sebagai kelompok angka pertumbuhan tinggi. Negara yang memiliki angka pertumbuhan tinggi biasanya ditandai dengan peningkatan secara besar-besaran angka penyerapan tenaga kerja, peningkatan produktivitas nasional, dan tentunya peningkatan jumlah penyedia lapangan kerja.

Ada satu pandangan apabila 1% pertumbuhan akan menghasilkan lapangan kerja sebanyak angka tertentu. Pandangan semacam ini sebenarnya hanyalah mitos. Kebenarannya sendiri masih sangat relatif di masing-masing negara dengan situasi ataupun latar belakang perekonomian yang berbeda. Dukungan empiris atas pernyataan tersebut pun masih lemah. Apalagi jika hanya berpedoman dari pertumbuhan PDB. Jika dikatakan mitos, karena kebenarannya secara teoritik pun masih sangat lemah.

Pertumbuhan Sebagai Alat Politisasi dan Propaganda


Sejak lama indikator makroekonomi seperti petumbuhan ekonomi dijadikan sebagai alat propaganda kekuasaan. Tidak hanya di Indonesia, di negara-negara anggota G-7 pernah menerapkannya di masa perang dingin. Angka pertumbuhan dijadikan sebagai sarana pencitraan politik, sampai akhirnya muncul perdebatan antara kelompok penganut teori pertumbuhan dan pembangunan. Ada dugaan, kuatnya pengaruh dari tokoh-tokoh politik di era perang dingin dikarenakan memanfaatkan paradigma angka pertumbuhan sebagai tolok ukur keberhasilan politiknya.

Beberapa waktu yang lalu, IMF pernah dituding memalsukan beberapa indikator makroekonomi, terutama angka pertumbuhan di negara Pantai Gading (Ivory Coast) dan Sierra Leone untuk memuluskan masuknya kepentingan di negara-negara tersebut. IMF dan Bank Dunia (World Bank) berulangkali menyebutkan (memuji) Indonesia sebagai keajaiban Asia karena mampu mencapai angka pertumbuhan tinggi lebih dari 10 tahun lamanya. Negara binaan IMF dan Bank Dunia tersebut tidak banyak berbuat apapun ketika menghadapi krisis moneter di tahun 1997-1998. Pada akhirnya, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang paling lama melakukan pemulihan (recovery) paska krisis di tahun 1998.

Di tahun 2011, perekonomian Indonesia diklaim mengalami pertumbuhan sebesar 6,7%. Fakta dan realita yang harus diperhatikan, bahwa hampir 80% aset perbankan nasional telah dikuasai oleh asing dan lebih dari 70% pula korporasi domestik di negeri ini telah dikuasai oleh asing. Di sektor pertambangan dan migas sendiri sudah didominasi pengelolaannya oleh asing. Demikian pula di sektor perkebunan dan perikanan laut. Apakah arti pertumbuhan sebesar 6,7%?

Sebagai bagian dari indikator makroekonomi, PDB maupun pertumbuhannya dianggap masih relevan, sesuai dengan definisinya. Namun, menjadi tidak relevan apabila dihubungkan dengan prestasi ekonomi, karena hanya memiliki aspek pengukuran yang sangat sempit.

No comments:

Post a Comment