KLIK gambar untuk menutup Iklan

Monday, February 16, 2015

Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional

            Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu pertama cara unilateral (sepihak) dan kedua, cara bilateral atau multilateral. Penjelas kedua cara tersebut diuraikan sebagai berikut:
1)      Cara Unilateral
Cara ini dilakukan dengan memasukan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan pajak berganda dalam undang-undang suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Biasanya yang dimasukan dalam undang-undang suatu negara adalh prinsip-prinsip yang sudah menjadi kelaziman internasional, seperti ketentuan tentang pembahasan pajak wakil diplomatik, wakil-wakil organisasi internasional. Penggunaan cara ini merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu undang-undang. Undang-undang PPh Indonesia menganut cara penghindaran pajak berganda dengan suatu metode yang disebut dengan metode kredit pajak. Pasal 24 undang-undang PPh menyebutkan bahwa, pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama ( ayat 1). Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan undang-undang(ayat 2).
2)      Cara Bilateral atau Multilateral
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan seecara bilateral oleh dua negara, sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri. Penghindaran pajak cara bilateral umumnya yang paling banyak dilakukan oleh suatu negara.
3)      Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan

Bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia dengan negara lain? bila ditelusuri dasar hukum biasa diadakannya perjanjian perpajakan antarnegara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945 beserta perubahannya, yang menyatakan “presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, memebuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khususnya dalam lalu lintas hukum internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka tidak diperlukannya lagi persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja. Praktik demikian nampaknya didasarkan pada surat Presiden Soekarno Nomor 2826/HK/60 tanggal 22 agustus 1960 yang sampai sekarang masih menjadi acuan dalam pembuatan perjanjian dengan negara lain, termasuk didalamnya perjanjian perpajakan dengan negara lain. berdasarkan ketentuan pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum perjanjian perpajakan (tax treaty) adalah sama dengan undang-undang nasional seperti misalnya undang-undang tentang PPh. Kedudukan hukum tax treaty dengan undang-undang perpajakan nasional, maka berlaku adagium yang menyatakan bahwa ketentuan yangbersifat khusus (lex specialis) mengalahkan ketentuan yang bersifat umum (lex generalis), degan demikian, apabila terdapat ketentuan dalam perjanjian perpajakan dan dalam undang-undang perpajakan nasional yang sama-sama mengatur mengenai suatu masalah yang sama, maka ketentuan yang bersifat khusus yang akan berlaku. Dengan kata lain, ketentuan yang bersifat khusus akan mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum.


No comments:

Post a Comment