“KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN /KOTA DI PROVINSI BALI”
1.
PENDAHULUAN
Menurut Yunasman dalam Abdul dan Theresia (2007),sejak pergantian
pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi,yaitu pada pertengahan tahun
1998,telah menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang
lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.Pemberian
kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat,dan pemerintah daerah,sesuai dengan prinsip
demokrasi dan partisipasi masyarakat.
Sumber-sumber penerimaan Negara yang merupakan dana public harus dikelola
secara bertanggung jawab.Pengelolaan keuangan public pemerintah pusat dilakukan
dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan kepada daerah.Pemerintah
daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No.32
Tahun 2004).Kebijakan ini memberikan tantangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya
yang dimiliki secara efisien dan efektif sesuai
dengan kapasitas kemampuan daerah masing-masing.
Pelaksanaan otonomi daerah yang sudah dimulai sejak 1 Januari 2001 telah
memperlihatkan banyak keberhasilan,salah satunya dapat dilihat dari suksesnya
beberapa kepala daerah dalam mengelola keuangan daerahnya melalui pemberian
pelayanan gratis pada sektor pendidikan dan kesehatan.Otonomi daerah membuka
peluang kepada masing-masing daerah untuk menggali potensi dan menggarap sumber
daya yang dimiliki,dalam upaya menciptakan nilai tambah dan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Menurut Mardiasmo(2002),tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah
adalah untuk meningkatkan pelayanan public (public service),dan
memajukan perekonomian daerah.
Menurut Abdul (2001),kinerja
keuangan daerah dapat dilihat dari derajat kemandirian daearh,yaitu suatu
ukuran seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dapat memenuhi
kebutuhan daerah dimana salah satu alat ukurnya adalah rasio antara PAD dengan
total pengeluaran daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal menuntut pemerintah
daerah kabupaten/kota untuk memiliki kemandirian keuangan daerah yang lebih
besar.Dengan tingkat kemandirian keuangan yang lebih pemerintah pusat dan
provinsi melalui dana perimbangan.Dana perimbangan diperlukan untuk mempercepat
pembangunan daerah.Semakin tinggi kemandirian keuangan,maka daerah akan dapat
memberikan pelayanan public yang lebih
berkualitas,dapat melakukan investasi pembangunan jangka panjang dan
sebagainya(Mahmudi,2007).
Menurut Abdul(2001),kemampuan suatu daerah untuk menggali PAD antara lain
sangat ditentukanoleh potensi yang dimiliki suatu wilayah dan juga kontribusi
sektor-sektor ekonomi terhadap Produk Domestik Regional Bruto(PDRB),disamping
struktur social politik dan kelembagaan,kemampuan atau kecakapan
administratif,kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan di daerah
yang bersangkutan.
Daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali
satu sama lain memiliki perbedaan potensi dan juga perbedaan struktur
ekonomi,sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam PAD seperti dikemukakan
oleh Emil Salim(Bali Post,2009) bahwa Pendapatan Asli Daerah(PAD) Bali sebagian
berasal dari sektor pariwisata.
Berdasarkan uraian sebelumnya,maka yang merupakan pokok bahasan disini
adalah :
v Apakah ada perbedaan kemandirian
keuangan daerah antar kabupaten/kota di
Provinsi Bali ?
v Bagaimanakah kecenderungan
kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali ?
2.
KAJIAN PUSTAKA / LANDASAN TEORI
2.1 Pendapatan Asli Daerah
Pasal 1 UU no .33
tahun 2004 menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan
yang diperoleh oleh daerah yang dipungut
berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Selanjutnya pasal 6
UU No.33 tahun 2004 menyebutkan ,bahwa PAD bersumber dari :
v Pajak daerah.
v Retribusi daerah.
v Hasil pengelelolan kekayaan daearh
yang dipisahkan,dan
v Lain-lain PAD yang sah, yang meliputi
:
Ø Hasil penjualan kekayaan daerah yang
tidak terpisahkan.
Ø Jasa Giro.
Ø Pendapatan Bunga.
Ø Keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing.
Ø Komisi,potongan,ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh
daerah.
Adapun jenis-jenis pajak
daerah yang merupakan kewenangan kabupaten/kota terdiri atas :
v Pajak Hotel.
v Pajak restoran.
v Pajak hiburan.
v Pajak reklame.
v Pajak penerangan jalan,dan
v Pajak pengambilan bahan galian
golongan C.
Sedangkan Jenis-jenis retribusi daerah meliputi :
v Retribusi Jasa Umum.
v Retribusi Jasa Usaha.
v Retribusi Perizinan.
2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Berbicara tentang
pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas
dari pembahasan mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui oleh pemerintah
daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.Berkaitan dengan
pelaksanaan desentralisasi fiscal,maka salah satu aspek penting bagi pemerintah
daerah adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.Anggaran
daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan kebijakan utama
bagi pemerintah daerah yang menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan
kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah.
Arti penting dari APBD
dapat dilihat dari aspek :
v Anggaran merupakan alat bagi
pemerintah daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan pembangunan
serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan,
v Anggaran diperlukan karena adanya
kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus
berkembang,sedangkan ketersediaan sumber daya terbatas.
Jadi anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan
sumber daya (scarcity of resources),pilihan(choice),dan
trade
offs
(Astuti dalam Abdul dan Theresia 2007).
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 serta aturan
pelaksanaannya,struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD),meliputi :
v Pendapatan.
v Belanja,dan
v Pembiayaan.
Pendapatan daerah adalah seluruh penerimaan daerah dalam
periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah,yang meliputi :
v Pendapatan Asli Daerah.
v Dana Perimbangan,dll.
Belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode
tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah,yang meliputi :
v Belanja pegawai.
v Belanja barang dan jasa.
v Belanja modal.
v Bunga.
v Subsisdi.
v Hibah.
v Bantuan social.
v Belanja bagi hasil dan bantuan
keuangan,dan
v Belanja tidak terduga.
Sedangkan pembiaayan adalah transaksi keuangan daerah yang
dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah.
2.3 Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi
pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan
urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian yang cukup kepada daerah,dengan
mengacu kepada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah,yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.Semua sumber keuangan
yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah
menjadi sumber keuangan daerah.
Keuangan daerah menurut
Mamesa dalam Abdul dan Theresia (2007),dapat diartikan sebagai semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,juga segala satuan baik berupa uang
maupun barang,yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak
lainnya sesuai ketentuan/peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paul dan Kenneth dalam
Abdul (2001) mengemukakan bahwa pola hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah didasarkan pada kemampuan keuangan daerah dalam membiayai
pemerintahan dan pembangunan.
Lebih lanjut dikemukakan
ada empat pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah dalam
pelaksanaan otonomi daerah yaitu :
v Pola hubungan instruktif,dimana
peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada pemerintah daerah.
v Pola hubungan konsultatif,dimana
campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah sudah
dianggap sedikit mampu untuk melaksanakan otonomi.
v Pola hubungan partisipatif,dimana
peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan
tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan otonomi,dan
v Pola hubungan delegatif,dimana campur
tangan pemerintah pusat tidak ada lagi,karena daerah telah benar-benar mampu
dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi.
3.PEMBAHASAN
Pembahasan mengenai kemandirian keuangan daerah,tidak
terlepas dengan pembicaraan tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).Oleh karena itu sebelum membahas mengenai kemandirian keuan
No comments:
Post a Comment