KLIK gambar untuk menutup Iklan

Wednesday, January 27, 2016

KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN /KOTA DI PROVINSI BALI

“KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN /KOTA DI PROVINSI BALI”

1.     PENDAHULUAN
Menurut Yunasman dalam Abdul dan Theresia (2007),sejak pergantian pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi,yaitu pada pertengahan tahun 1998,telah menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan  pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat,dan pemerintah daerah,sesuai dengan prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat.
Sumber-sumber penerimaan Negara yang merupakan dana public harus dikelola secara bertanggung jawab.Pengelolaan keuangan public pemerintah pusat dilakukan dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan kepada daerah.Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No.32 Tahun 2004).Kebijakan ini memberikan tantangan kepada  pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif sesuai  dengan kapasitas kemampuan daerah masing-masing.
Pelaksanaan otonomi daerah yang sudah dimulai sejak 1 Januari 2001 telah memperlihatkan banyak keberhasilan,salah satunya dapat dilihat dari suksesnya beberapa kepala daerah dalam mengelola keuangan daerahnya melalui pemberian pelayanan gratis pada sektor pendidikan dan kesehatan.Otonomi daerah membuka peluang kepada masing-masing daerah untuk menggali potensi dan menggarap sumber daya yang dimiliki,dalam upaya menciptakan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Menurut Mardiasmo(2002),tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan public (public service),dan memajukan perekonomian daerah.
Menurut  Abdul (2001),kinerja keuangan daerah dapat dilihat dari derajat kemandirian daearh,yaitu suatu ukuran seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dapat memenuhi kebutuhan daerah dimana salah satu alat ukurnya adalah rasio antara PAD dengan total pengeluaran daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal menuntut pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memiliki kemandirian keuangan daerah yang lebih besar.Dengan tingkat kemandirian keuangan yang lebih pemerintah pusat dan provinsi melalui dana perimbangan.Dana perimbangan diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah.Semakin tinggi kemandirian keuangan,maka daerah akan dapat memberikan pelayanan public  yang lebih berkualitas,dapat melakukan investasi pembangunan jangka panjang dan sebagainya(Mahmudi,2007).
Menurut Abdul(2001),kemampuan suatu daerah untuk menggali PAD antara lain sangat ditentukanoleh potensi yang dimiliki suatu wilayah dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap Produk Domestik Regional Bruto(PDRB),disamping struktur social politik dan kelembagaan,kemampuan atau kecakapan administratif,kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan di daerah yang bersangkutan.
Daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali  satu sama lain memiliki perbedaan potensi dan juga perbedaan struktur ekonomi,sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam PAD seperti dikemukakan oleh Emil Salim(Bali Post,2009) bahwa Pendapatan Asli Daerah(PAD) Bali sebagian berasal dari sektor pariwisata.
Berdasarkan uraian sebelumnya,maka yang merupakan pokok bahasan disini adalah :
v Apakah ada perbedaan kemandirian keuangan daerah antar kabupaten/kota di  Provinsi Bali ?
v Bagaimanakah kecenderungan kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali ?

2.     KAJIAN PUSTAKA / LANDASAN TEORI

2.1  Pendapatan Asli Daerah
 Pasal  1 UU no .33 tahun 2004 menyebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh oleh daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Selanjutnya pasal 6 UU No.33 tahun 2004 menyebutkan ,bahwa PAD bersumber dari :
v Pajak daerah.
v Retribusi daerah.
v Hasil pengelelolan kekayaan daearh yang dipisahkan,dan
v Lain-lain PAD yang sah, yang meliputi :
Ø Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan.
Ø Jasa Giro.
Ø Pendapatan Bunga.
Ø Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Ø Komisi,potongan,ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah.
Adapun jenis-jenis pajak daerah yang merupakan kewenangan kabupaten/kota terdiri atas :
v Pajak Hotel.
v Pajak restoran.
v Pajak hiburan.
v Pajak reklame.
v Pajak penerangan jalan,dan
v Pajak pengambilan bahan galian golongan C.
Sedangkan Jenis-jenis retribusi daerah meliputi :
v Retribusi Jasa Umum.
v Retribusi Jasa Usaha.
v Retribusi Perizinan.

2.2  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Berbicara tentang pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas  dari pembahasan mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fiscal,maka salah satu aspek penting bagi pemerintah daerah adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan kebijakan utama bagi pemerintah daerah yang menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah.
Arti penting dari APBD dapat dilihat dari aspek :
v Anggaran merupakan alat bagi pemerintah daerah untuk mengarahkan dan menjamin kesinambungan pembangunan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan,
v Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang,sedangkan ketersediaan sumber daya terbatas.
Jadi anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources),pilihan(choice),dan trade offs (Astuti dalam Abdul dan Theresia 2007).
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 serta aturan pelaksanaannya,struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD),meliputi :
v Pendapatan.
v Belanja,dan
v Pembiayaan.
Pendapatan daerah adalah seluruh penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah,yang meliputi :
v Pendapatan Asli Daerah.
v Dana Perimbangan,dll.
Belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah,yang meliputi :
v Belanja pegawai.
v Belanja barang dan jasa.
v Belanja modal.
v Bunga.
v Subsisdi.
v Hibah.
v Bantuan social.
v Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan,dan
v Belanja tidak terduga.
Sedangkan pembiaayan adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah.


2.3  Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian yang cukup kepada daerah,dengan mengacu kepada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Keuangan daerah menurut Mamesa dalam Abdul dan Theresia (2007),dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,juga segala satuan baik berupa uang maupun barang,yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lainnya sesuai ketentuan/peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paul dan Kenneth dalam Abdul (2001) mengemukakan bahwa pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah didasarkan pada kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan.
Lebih lanjut dikemukakan ada empat pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu :
v Pola hubungan instruktif,dimana peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada pemerintah daerah.
v Pola hubungan konsultatif,dimana campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah sudah dianggap sedikit mampu untuk melaksanakan otonomi.
v Pola hubungan partisipatif,dimana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan otonomi,dan
v Pola hubungan delegatif,dimana campur tangan pemerintah pusat tidak ada lagi,karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi.

3.PEMBAHASAN
Pembahasan mengenai kemandirian keuangan daerah,tidak terlepas dengan pembicaraan tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).Oleh karena itu sebelum membahas  mengenai kemandirian keuan





No comments:

Post a Comment