Membenahi Kinerja Koperasi
Sejak dikeluarkannya Inpres 18/1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan
Pengembangan Koperasi yang disertai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang
KUD, masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membangun koperasi
tanpa dibatasi wilayah kerjanya.
Atas kenyataan itu, proses terbentuknya koperasi telah mengalami
pergeseran, yang sebelumnya dari atas ke bawah (top-down) berubah menjadi dan
diarahkan dari bawah ke atas (bottom-up). Berdasarkan Inpres 18/1998, setiap
orang yang memiliki kepentingan ekonomi atau kegiatan ekonomi yang sama bebas
mendirikan koperasi menurut basis pengembangannya masing-masing. Sebagai
konsekuensinya, jumlah koperasi meningkat pesat. Hanya dalam kurun waktu tiga
tahun (1998-2001), jumlah koperasi telah meningkat dua kali lipat. Sampai saat
ini terdapat lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.
Meskipun jumlah koperasi dan anggotanya meningkat secara signifikan,
namun secara kumulatif kinerja koperasi belum mampu mengimbangi peningkatan
jumlah koperasi dan anggotanya. Kinerja koperasi itu dapat diketahui secara
periodik, karena secara yuridis pemerintah menerapkan penilaian klasifikasi
dengan peringkat, yakni kelas A (sangat baik), kelas B (baik), kelas C (cukup
baik), dan kelas D (kurang baik).
Peningkatan jumlah koperasi sejak dikeluarkannya Inpres 18/1998, ternyata
tidak sejalan dengan kinerja usaha koperasi itu sendiri. Akhir-akhir ini,
kinerja institusi itu cenderung mengalami penurunan, yang antara lain
ditunjukkan baik oleh tingkat profitabilitas yang mencerminkan otonomi dan
kemandirian koperasi yang relatif masih rendah maupun oleh tingkat efisiensi
yang mencerminkan partisipasi ekonomi anggota yang juga masih belum memadai.
Banyak koperasi yang kemudian berubah menjadi tidak sehat, tidak bisa
berkembang, atau bahkan tutup. Di Jawa Tengah saja, dari 15.799 unit, jumlah
koperasi yang tidak sehat mencapai 13.799 unit.
Koperasi yang tidak sehat itu merupakan koperasi kecil yang modalnya
sedikit dan manajemennya kurang baik. Dengan demikian, hanya sekitar 2.000 unit
koperasi (12,65 persen) yang masih sehat. Hal itu perlu mendapat perhatian
serius dari pemerintah, terutama dalam pembinaan, penataan, dan pelatihan
manajemen (Suara Merdeka, 16 Pebruari 2007).
Konsekuensi terburuk dari menurunnya kinerja koperasi adalah terjadinya
perubahan status koperasi yang dulunya aktif menjadi koperasi yang tidak aktif.
Hal itu disebabkan antara lain oleh karena banyaknya koperasi yang tumbuh tidak
berbasis anggota serta lemahnya pendidikan tentang pemahaman dan penerapan
nilai-nilai dan prinsip koperasi yang menjadi acuan bagi pertumbuhan, pelaksanaan,
dan pengawasan koperasi.
Pada dasarnya, masih besar harapan untuk tumbuhnya kemandirian koperasi,
mengingat perkembangan koperasi di Indonesia justru didominasi oleh
koperasi simpan pinjam. Perlu upaya untuk lebih memperluas jaringan usaha
koperasi. KSP/USP tidak hanya melayani kebutuhan anggota, namun perlu juga
menjangkau kebutuhan nonanggota.
Pada saat ini, koperasi simpan
pinjam/ unit simpan pinjam (KSP/USP) menguasai antara 55 sampai 60 persen dari
keseluruhan aset koperasi dan populasi koperasi. Posisi KSP/USP dalam
pasar keuangan mikro menempati urutan ketiga setelah BRI Unit dan BPR, dengan
pangsa pasar sekitar 30 persen. Di Jawa Tengah saat ini terdapat 115 KSP/USP.
Jumlah itu merupakan yang terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur (127
KSP/USP). Salah satu contoh KSP yang dapat dijadikan model pengembangan adalah
KSP Wanita di Jawa Timur.
Efisiensi dalam
koperasi sebenarnya mudah sekali dicapai, karena koperasi telah memiliki segmen
pasar yang jelas, yakni para anggotanya sendiri (captive market).
Namun kebergantungan kepada captive market itu perlu diwaspadai, apabila
membuat koperasi menjadi terpasung usahanya, sehingga tidak dapat berkembang.
Koperasi yang tidak dapat berkembang, berarti memiliki kinerja yang buruk.
Oleh sebab itu, perlu upaya untuk lebih memperluas jaringan usaha
koperasi. KSP/USP tidak hanya melayani kebutuhan anggota, namun perlu juga
menjangkau kebutuhan nonanggota. Meskipun segmentasi pasarnya akan sulit
ditembus karena ketatnya persaingan, koperasi simpan pinjam harus mau mencoba
dalam rangka membangun koperasi simpan pinjam sebagai pilar kekuatan
perkoperasian nasional. Efisiensi usaha akan lebih terfokus, apabila koperasi
merupakan koperasi yang berbentuk tunggal usaha (single purpose) dengan usaha
inti (core business) yang layak.
Dengan memiliki core business, usaha koperasi akan terhindar dari
persaingan yang keras. Di samping itu, koperasi single purpose juga dapat meningkatkan
efisiensi dari aspek biaya transaksi, karena biaya transaksi koperasi dapat
ditekan serendah mungkin.
Tidak seperti koperasi serbausaha (multipurpose), koperasi single purpose
tidak perlu mengeluarkan biaya untuk lobi, rapat, mencapai kompromi, dan
lain-lain. Singkatnya, efisiensi dalam koperasi berkaitan erat dengan
partisipasi ekonomi anggotanya, yakni sejauh mana setiap anggota bersedia
melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan usaha koperasi.
Lemahnya manajemen koperasi
selama ini, sering menjadi alasan klasik yang menghambat peningkatan kinerja
koperasi. Upaya untuk mengatasi masalah managerial skill itu, dapat
dilakukan dengan kegiatan peningkatan dan pengembangan kelembagaan, peningkatan
dan pengembangan koperasi melalui temu usaha pemberdayaan ekonomi rakyat, temu
kemitraan, dan temu konsultasi, serta peningkatan kualitas SDM melalui
pendidikan dan latihan manajemen koperasi, seperti yang telah dilakukan oleh
Bappeda dan Dinas Koperasi.
No comments:
Post a Comment