Problem
Koperasi di Indonesia
Wacana tentang koperasi dikenal di
Indonesia
sejak akhir abad 19. Pada masa itu,
Patih Purwokerto, Tirto Adisuryo, mengetengahkan gagasan bahwa untuk
menanggulangi kemiskinan di kalangan pegawai dan petani perlu dibentuknya sebuah
organisasi swadaya (self-help organization), yang kemudian dibantu
pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi
pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.
Gagasan yang sama juga muncul dari
seorang pejabat Pemerintah Belanda, yang kemudian menjadi sarjana ekonomi,
Brooke. Dalam pandangan Brooke masyarakat
Indonesia
mempunyai dualisme kecenderungan
dalam hal sosial budaya, yaitu antara sektor modern dan sektor tradisional.
Melalui tesisnya tersebut, lantas ia berkesimpulan bahwa sistem usaha koperasi
akan lebih cocok bagi kaum pribumi jika dibanding dengan bentuk badan-badan
usaha kapitalis. Pandangan ini agaknya disetujui oleh Pemerintah Hindia
Belanda, sehingga pemerintah kolonial itu mengadopsi kebijaksanaan pembinaan koperasi
tersebut untuk diterapkan pada masyarakat pribumi.
Namun ironisnya, perkembangan
koperasi yang puncaknya terjadi pada tahun 1933-an bukanlah merupakan hasil
dari pembinaan Pemerintah Hindia Belanda. Melainkan karena dibangun sendiri
oleh gerakan kebangsaan yang dipimpin oleh para cendekiawan pada masa itu.
Apa yang dilakukan Pemerintah Hindia
Belanda pada akhir dasawarsa 1930-an adalah membina industri kecil. Namun
bedanya, jika koperasi merespon kemiskinan, maka industri kecil lebih diarahkan
untuk mengatasi masalah pengangguran yang meluas sejak Depresi Besar tahun
1930-an.
Pandangan Bung
Hatta tentang koperasi sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana sistem
perekonomian dunia. Bung Hatta sendiri mendapatkan gagasan mengenai koperasi
ini setelah kunjungan beliau ke negara-negara Skandinavia khususnya Denmark
pada akhir tahun 1930-an.
Dalam pemikiran
Bung Hatta, penekanan adanya nilai dan lembaga tradisional gotong-royong yang
sudah ada di Indonesia dipandang sebagai modal awal bagi potensi tumbuhnya
koperasi. Meski secara perseptif, bentuk formal dari koperasi yang beliau
gambarkan adalah sebagai sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di
Eropa Barat.
Maka dari
itulah secara garis besar Bung Hatta membuat dikotomi koperasi menjadi dua,
”koperasi sosial“ dan ”koperasi ekonomi“. ”Koperasi sosial“ yang beliau
maksudkan adalah koperasi yang didasari oleh asas kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Sedangkan ”koperasi ekonomi“ adalah koperasi yang didasarkan
pada asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif.
Dari dua
dikotomi tersebut Bung Hatta mengambil jalan tengah, atau third way dalam
istilah Giddens. Koperasi merupakan sebuah lembaga self-help lapisan
masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Dengan
demikian sistem koperasi yang bersandar kepada kerjasama atau koperasi, dapat
ambil peran dalam ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi
kecil melalui persaingan bebas tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu
sendiri.
Di
negara-negara kapitalis, baik Eropa Barat, Amerika Utara, maupun Australia,
koperasi juga menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Di
Jepang, koperasi telah menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis
pertanian. Di pedesaan Jepang, koperasi menggantikan peranan bank atau menjadi
semacam ”bank rakyat“, yaitu koperasi yang beroperasi dengan sistem perbankan.
Di Indonesia
Bung Hatta menganjurkan tiga macam koperasi. Pertama adalah koperasi konsumsi
yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah koperasi
produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak dan nelayan).
Ketiga adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil
guna memenuhi kebutuhan modal.
Dengan
demikian, dalam tataran wacana, seharusnya kemiskinan di Indonesia, sesuai
dengan cita-cita yang diangankan oleh Bung Hatta, dapat teratasi. Namun dalam
praktiknya kenapa justru kondisi sebaliknya yang sekarang ini terjadi di
Indonesia.
Di antara tiga pilar perekonomian di
Indonesia, koperasi adalah sektor yang paling tertinggal. Bahkan koperasi dikaitkan dengan gejala
KKN. Hal ini erat kaitannya dengan kebijaksanaan mengenai “jatah” dan
“fasilitas” yang disediakan pemerintah, terutama di masa Orde Baru. Sehingga
yang terjadi adalah orang masuk koperasi bukan karena ingin bekerjasama dalam
kegiatan produktif, melainkan karena ingin menikmati fasilitas dan jatah dari
pemerintah.
Selain faktor
pemanjaan lembaga koperasi oleh Pemerintah dengan adanya ”jatah“ dan
”fasilitas“ tersebut, penyebab lain yang menjadi problem tidak berkembangnya
koperasi di Indonesia dapat diuraikan dalam beberapa sebab berikut ini;
Pertama adalah
masalah kompetensi, dalam hal ini adalah kompetensi dari anggota koperasi itu
sendiri. Seperti yang dipaparkan oleh Kazimierz dalam perspektif sustainable
collective intelligence (SCI), dengan adanya kompetensi yang bermakna dapat
memacu kecerdasan yang mampu menghasilkan sinergi. Ungkapan tentang bersatu
kita teguh dan bercerai kita runtuh dalam lingkup kolektif, akan terwujud jika
kompetensi yang memacu kecerdasan kolektif tersebut juga terbangun. Artinya
koperasi akan menjadi berkembang, jika anggota-anggotanya terdidik untuk tegas,
berkemampuan, paham, dan juga berkemauan untuk menolong diri sendiri, secara
kolektif dengan dilandasi solidaritas yang tinggi di antara anggotanya.
Kedua adalah
masalah posisi pendanaan mikro. Pendanaan mikro di Indonesia sebenarnya telah
berjalan lama. Hal ini terlihat dari banyaknya arisan-arisan yang ada di
kalangan masyarakat yang jumlahnya sekitar 500-800 ribu. Selain arisan,
pendanaan mikro yang berlangsung di masyarakat—dan inilah poin bahayanya—adalah
tukang riba atau sistem ijon. Dan ironisnya tidak ada lembaga atau sistem
perbankan lain yang lebih sehat yang melayani komunitas usaha kecil.
Di sinilah
sebenarnya celah bagi koperasi untuk tumbuh. Saat dunia perbankan ”menolak“
kehadiran komunitas usaha kecil, dan malah dimasuki oleh tukang riba atau
sistem ijon yang notabene mensyaratkan bunga pengembalian yang jauh meroket ke
langit, koperasi merupakan solusi tersendiri. Posisi koperasi sebagai micro
financing dalam hal ini yang pasti berbunga rendah, tidak mengisap, tenang,
dan tanpa paksaan. Dengan satu syarat, bahwa anggota koperasi harus menabung
dulu baru boleh pinjam, saving formation first. Namun masalahnya,
bisakah anggota koperasi menerapkan dan menepati prinsip tersebut?
Ketiga adalah masalah intervensi
oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah, yang sengaja atau
tidak sengaja, telah menempatkan koperasi menjadi subsistem dari lembaga negara
seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Urusan Logistik (BULOG).
Harusnya pengaturan itu dibalik, koperasilah yang seharusnya menjadi
suprasistem dari BUMN tersebut. Yaitu melalui koperasi tersier, sekunder, dan primer
dalam lingkup jaringan bisnis koperasi yang utuh. Kiranya itulah alasan mengapa
koperasi di Jepang, Singapura, dan AS terus berkembang dan maju.
Keempat adalah
masalah kesenjangan aspirasi. Desain keliru pemerintah atas sistem
perkoperasian di Indonesia dengan menempatkan Dolog, misalnya, sebagai
suprasistem KUD, mengakibatkan loyalitas pimpinan KUD menjadi cenderung lebih
banyak ke luar (Dolog) daripada ke dalam (anggota-anggotanya). Selanjutnya
pengurus menjadi tidak aspiratif terhadap kepentingan anggotanya. Pengurus tidak dikontrol anggota yang membuat KKN kian
semarak masuk ke KUD. Maka tidak heran jika kemudian orang memlesetkan KUD
sebagai Ketua Utang Dulu, dan memang begitulah realitas yang terjadi di
sistem perkoperasian di
Indonesia
.
Kelima adalah adanya krisis
kesadaran yang terjadi di tubuh koperasi. Yang dimaksud krisis kesadaran di
sini adalah adanya anggapan bahwa koperasi merupakan usaha kecil yang tentu
saja karyawannya juga digaji dengan terbatas. Hal ini akhirnya menyulut nafsu para
pengurusnya untuk menjadikan koperasi sebagai ladang untuk menambah pendapatan.
Hal ini juga disebabkan oleh kekeliruan pemahaman birokrasi koperasi. Hal ini
menyebabkan orang lebih banyak memperbincangkan soal social ideology
koperasi ketimbang keteknisan bisnis koperasi yang pas.
Tak dapat dimungkiri, ibarat pepatah
mengatakan bahwa koperasi di
Indonesia
masih jauh panggang dari api. Dan
meski demikian, seharusnya kita tak boleh patah arang. Apalagi di tengah
kondisi perekonomian global seperti sekarang ini, mungkin koperasilah salah
satu jawaban sebagai solusi yang baik bagi tumbuhnya kalangang praktisi
perekonomian tingkat bawah.
Untuk itulah, hendaknya kita kembali
menyimak apa yang Bung Hatta ucapkan mengenai koperasi. “Budi pemangku koopersi
yang ideal terletak di dalam daerah pendidikan penghidupan sosial maupun
perusahaan. Dan apa yang harus dihidupkan dalam lingkungan keluarga kooperasi
sebagai peribudi istimewa ialah sifat-sifat tegas dan paham dan juga kemampuan
dan kemauan untuk menolong diri sendiri, kecondongan bersekutu dan solidaritas.
Pendek kata setia kepada kawan dan setia terhadap perusahaan sekawan.”
Kemudian beliau mengakhiri pidatonya
dengan, “apa yang terasa baik sekarang, di kemudain hari sudah kurang baik
rupanya, oleh karena dunia selalu dalam perubahan. Janganlah pula ada di antara
kita yang merasa sombong melihat hasil yang telah tercapai. Sikap yang harus
dicapai dalam membangun kooperasi mestilah sesuai dengan ilmu padi: semakin
masak semakin runduk.”
No comments:
Post a Comment