KLIK gambar untuk menutup Iklan

Sunday, March 16, 2014

Problem Koperasi di Indonesia

Problem Koperasi di Indonesia
Wacana tentang koperasi dikenal di
Indonesia
sejak akhir abad 19. Pada masa itu, Patih Purwokerto, Tirto Adisuryo, mengetengahkan gagasan bahwa untuk menanggulangi kemiskinan di kalangan pegawai dan petani perlu dibentuknya sebuah organisasi swadaya (self-help organization), yang kemudian dibantu pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.
Gagasan yang sama juga muncul dari seorang pejabat Pemerintah Belanda, yang kemudian menjadi sarjana ekonomi, Brooke. Dalam pandangan Brooke masyarakat
Indonesia
mempunyai dualisme kecenderungan dalam hal sosial budaya, yaitu antara sektor modern dan sektor tradisional. Melalui tesisnya tersebut, lantas ia berkesimpulan bahwa sistem usaha koperasi akan lebih cocok bagi kaum pribumi jika dibanding dengan bentuk badan-badan usaha kapitalis. Pandangan ini agaknya disetujui oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehingga pemerintah kolonial itu mengadopsi kebijaksanaan pembinaan koperasi tersebut untuk diterapkan pada masyarakat pribumi.
Namun ironisnya, perkembangan koperasi yang puncaknya terjadi pada tahun 1933-an bukanlah merupakan hasil dari pembinaan Pemerintah Hindia Belanda. Melainkan karena dibangun sendiri oleh gerakan kebangsaan yang dipimpin oleh para cendekiawan pada masa itu.
Apa yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada akhir dasawarsa 1930-an adalah membina industri kecil. Namun bedanya, jika koperasi merespon kemiskinan, maka industri kecil lebih diarahkan untuk mengatasi masalah pengangguran yang meluas sejak Depresi Besar tahun 1930-an.
Pandangan Bung Hatta tentang koperasi sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana sistem perekonomian dunia. Bung Hatta sendiri mendapatkan gagasan mengenai koperasi ini setelah kunjungan beliau ke negara-negara Skandinavia khususnya Denmark pada akhir tahun 1930-an.
Dalam pemikiran Bung Hatta, penekanan adanya nilai dan lembaga tradisional gotong-royong yang sudah ada di Indonesia dipandang sebagai modal awal bagi potensi tumbuhnya koperasi. Meski secara perseptif, bentuk formal dari koperasi yang beliau gambarkan adalah sebagai sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat.
Maka dari itulah secara garis besar Bung Hatta membuat dikotomi koperasi menjadi dua, ”koperasi sosial“ dan ”koperasi ekonomi“. ”Koperasi sosial“ yang beliau maksudkan adalah koperasi yang didasari oleh asas kekeluargaan dan kegotongroyongan. Sedangkan ”koperasi ekonomi“ adalah koperasi yang didasarkan pada asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif.
Dari dua dikotomi tersebut Bung Hatta mengambil jalan tengah, atau third way dalam istilah Giddens. Koperasi merupakan sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Dengan demikian sistem koperasi yang bersandar kepada kerjasama atau koperasi, dapat ambil peran dalam ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.
Di negara-negara kapitalis, baik Eropa Barat, Amerika Utara, maupun Australia, koperasi juga menjadi wadah usaha kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Di Jepang, koperasi telah menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Di pedesaan Jepang, koperasi menggantikan peranan bank atau menjadi semacam ”bank rakyat“, yaitu koperasi yang beroperasi dengan sistem perbankan.
Di Indonesia Bung Hatta menganjurkan tiga macam koperasi. Pertama adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Kedua, adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak dan nelayan). Ketiga adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal.
Dengan demikian, dalam tataran wacana, seharusnya kemiskinan di Indonesia, sesuai dengan cita-cita yang diangankan oleh Bung Hatta, dapat teratasi. Namun dalam praktiknya kenapa justru kondisi sebaliknya yang sekarang ini terjadi di Indonesia.
Di antara tiga pilar perekonomian di Indonesia, koperasi adalah sektor yang paling tertinggal. Bahkan koperasi dikaitkan dengan gejala KKN. Hal ini erat kaitannya dengan kebijaksanaan mengenai “jatah” dan “fasilitas” yang disediakan pemerintah, terutama di masa Orde Baru. Sehingga yang terjadi adalah orang masuk koperasi bukan karena ingin bekerjasama dalam kegiatan produktif, melainkan karena ingin menikmati fasilitas dan jatah dari pemerintah.
Selain faktor pemanjaan lembaga koperasi oleh Pemerintah dengan adanya ”jatah“ dan ”fasilitas“ tersebut, penyebab lain yang menjadi problem tidak berkembangnya koperasi di Indonesia dapat diuraikan dalam beberapa sebab berikut ini;
Pertama adalah masalah kompetensi, dalam hal ini adalah kompetensi dari anggota koperasi itu sendiri. Seperti yang dipaparkan oleh Kazimierz dalam perspektif sustainable collective intelligence (SCI), dengan adanya kompetensi yang bermakna dapat memacu kecerdasan yang mampu menghasilkan sinergi. Ungkapan tentang bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh dalam lingkup kolektif, akan terwujud jika kompetensi yang memacu kecerdasan kolektif tersebut juga terbangun. Artinya koperasi akan menjadi berkembang, jika anggota-anggotanya terdidik untuk tegas, berkemampuan, paham, dan juga berkemauan untuk menolong diri sendiri, secara kolektif dengan dilandasi solidaritas yang tinggi di antara anggotanya.
Kedua adalah masalah posisi pendanaan mikro. Pendanaan mikro di Indonesia sebenarnya telah berjalan lama. Hal ini terlihat dari banyaknya arisan-arisan yang ada di kalangan masyarakat yang jumlahnya sekitar 500-800 ribu. Selain arisan, pendanaan mikro yang berlangsung di masyarakat—dan inilah poin bahayanya—adalah tukang riba atau sistem ijon. Dan ironisnya tidak ada lembaga atau sistem perbankan lain yang lebih sehat yang melayani komunitas usaha kecil.
Di sinilah sebenarnya celah bagi koperasi untuk tumbuh. Saat dunia perbankan ”menolak“ kehadiran komunitas usaha kecil, dan malah dimasuki oleh tukang riba atau sistem ijon yang notabene mensyaratkan bunga pengembalian yang jauh meroket ke langit, koperasi merupakan solusi tersendiri. Posisi koperasi sebagai micro financing dalam hal ini yang pasti berbunga rendah, tidak mengisap, tenang, dan tanpa paksaan. Dengan satu syarat, bahwa anggota koperasi harus menabung dulu baru boleh pinjam, saving formation first. Namun masalahnya, bisakah anggota koperasi menerapkan dan menepati prinsip tersebut?
Ketiga adalah masalah intervensi oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah, yang sengaja atau tidak sengaja, telah menempatkan koperasi menjadi subsistem dari lembaga negara seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Urusan Logistik (BULOG). Harusnya pengaturan itu dibalik, koperasilah yang seharusnya menjadi suprasistem dari BUMN tersebut. Yaitu melalui koperasi tersier, sekunder, dan primer dalam lingkup jaringan bisnis koperasi yang utuh. Kiranya itulah alasan mengapa koperasi di Jepang, Singapura, dan AS terus berkembang dan maju.
Keempat adalah masalah kesenjangan aspirasi. Desain keliru pemerintah atas sistem perkoperasian di Indonesia dengan menempatkan Dolog, misalnya, sebagai suprasistem KUD, mengakibatkan loyalitas pimpinan KUD menjadi cenderung lebih banyak ke luar (Dolog) daripada ke dalam (anggota-anggotanya). Selanjutnya pengurus menjadi tidak aspiratif terhadap kepentingan anggotanya. Pengurus tidak dikontrol anggota yang membuat KKN kian semarak masuk ke KUD. Maka tidak heran jika kemudian orang memlesetkan KUD sebagai Ketua Utang Dulu, dan memang begitulah realitas yang terjadi di sistem perkoperasian di
Indonesia
.
Kelima adalah adanya krisis kesadaran yang terjadi di tubuh koperasi. Yang dimaksud krisis kesadaran di sini adalah adanya anggapan bahwa koperasi merupakan usaha kecil yang tentu saja karyawannya juga digaji dengan terbatas. Hal ini akhirnya menyulut nafsu para pengurusnya untuk menjadikan koperasi sebagai ladang untuk menambah pendapatan. Hal ini juga disebabkan oleh kekeliruan pemahaman birokrasi koperasi. Hal ini menyebabkan orang lebih banyak memperbincangkan soal social ideology koperasi ketimbang keteknisan bisnis koperasi yang pas.
Tak dapat dimungkiri, ibarat pepatah mengatakan bahwa koperasi di
Indonesia
masih jauh panggang dari api. Dan meski demikian, seharusnya kita tak boleh patah arang. Apalagi di tengah kondisi perekonomian global seperti sekarang ini, mungkin koperasilah salah satu jawaban sebagai solusi yang baik bagi tumbuhnya kalangang praktisi perekonomian tingkat bawah.
Untuk itulah, hendaknya kita kembali menyimak apa yang Bung Hatta ucapkan mengenai koperasi. “Budi pemangku koopersi yang ideal terletak di dalam daerah pendidikan penghidupan sosial maupun perusahaan. Dan apa yang harus dihidupkan dalam lingkungan keluarga kooperasi sebagai peribudi istimewa ialah sifat-sifat tegas dan paham dan juga kemampuan dan kemauan untuk menolong diri sendiri, kecondongan bersekutu dan solidaritas. Pendek kata setia kepada kawan dan setia terhadap perusahaan sekawan.”

Kemudian beliau mengakhiri pidatonya dengan, “apa yang terasa baik sekarang, di kemudain hari sudah kurang baik rupanya, oleh karena dunia selalu dalam perubahan. Janganlah pula ada di antara kita yang merasa sombong melihat hasil yang telah tercapai. Sikap yang harus dicapai dalam membangun kooperasi mestilah sesuai dengan ilmu padi: semakin masak semakin runduk.” 

No comments:

Post a Comment